Ahad 28 Jul 2019 16:16 WIB

Bertawakal kepada Allah SWT

Lalu, sebenarnya bagaimana batasan tawakal itu?

Mengingat Allah Ilustrasi.
Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Mengingat Allah Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usai menuntaskan sebuah usaha atau aktivitas, biasanya seorang Muslim melontarkan pernyataan, semuanya serahkan kepada Allah SWT. “Kita bertawakal kepada-Nya.” Dia akan menerima apa pun hasil yang akhirnya ditetapkan Allah. Ada pula Muslim yang lidahnya dengan ringan berucap, ia menyandarkan semuanya kepada Allah.

Imam Nawawi melalui karyanya, Riyadhus Shalihin, memberikan sejumlah argumentasi mengenai tawakal ini. Bertawakallah kepada Allah yang hidup kekal, yang tidak mati. Demikian surah al-Furqan ayat 58 yang tercantum dalam karyanya itu. Surah lainnya, yaitu ath-Thalaq ayat 3 mengungkapkan hal senada.

Siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Lalu, sebenarnya bagaimana batasan tawakal itu? Menurut Mahmud al-Mishri, tawakal berarti menyandarkan hati kepada Allah ketika mencari kebaikan dan menghindari mudarat dalam perkara duniawi dan ukhrawi.

Seorang Muslim yang bertawakal, jelas dia dalam karyanya, Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW,  akan menyerahkan semua urusannya kepada Allah. Muslim juga mewujudkan rasa imannya dengan meyakini bahwa Allah yang memberi atau tidak memberi sesuatu serta mendatangkan manfaat atau bahaya terhadap dirinya.

Lebih jauh cendekiawan Muslim Abu Turab an-Nakhsyabi menyatakan ada sejumlah hal yang tercakup dalam sikap itu. Dalam pandangan dia, tawakal merangkum lima hal yang berkaitan satu sama lain, yaitu total dalam beribadah, menggantungkan hati untuk memenuhi hak Allah, dan merasa cukup atas semua pemberian Allah.

Selain itu, bersyukur jika memperoleh anugerah serta bersabar jika apa yang ia harapkan belum dikabulkan. Merujuk pada hal tersebut dan serangkaian argumen lainnya, para ulama memiliki pandangan yang sama bahwa takawal tak bertentangan dengan kerja keras dan usaha.

Mereka menegaskan, seseorang tak dibenarkan menyatakan tawakal jika tak mendahuluinya dengan kerja keras. “Jika seseorang menyatakan bertawakal, namun sebelumnya tak berusaha, tawakalnya kurang benar,” demikian penegasan para ulama mengenai tawakal.

Menurut Sahal bin Abdullah, ini sangat beralasan karena Muslim yang tak bekerja dan berusaha kemudian menyatakan tawakal, telah menabrak sunah. Maka itu, ia berkesimpulan, siapa yang merusak tawakal sama saja dengan merusak keimanannya. Apalagi, tawakal adalah cermin kepribadian Nabi Muhammad SAW.

Di samping itu, bekerja keras pun menjadi sunah yang diajarkan beliau. Mereka yang ingin mengikuti kepribadian Nabi Muhammad mestinya menjalani sunah yang dicontohkannya. Mahmud al-Mishri mengatakan, tawakal menjadi salah satu rangkaian usaha seseorang dalam mewujudkan tujuan dan menyerahkan hasilnya kepada Allah.

 

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement