REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu koleksi Museum Alquran Madinah adalah Mushaf Alquran yang ditulis sebagaimana pada zaman khalifah Ali Bin Abi Thalib. “Mushaf Alquran ini, ditulis sesuai dengan aslinya sebagaimana yang terdapat di Museum Topkapi, Turki,” kata Abdul Aziz, seorang staf Museum Alquran Madinah, Jumat (26/7).
Alquran tersebut tidak memiliki tanda baca, baik dari harakat maupun titik. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya andai umat masa kini membaca Alquran tersebut. Itulah salah satu upaya yang dilakukan generasi salafus shalih untuk memudahkan umat Islam di masa akhir untuk memahami Alquran.
Sesungguhnya, pemberian titik dan baris pada mushaf Alquran dilakukan dalam tiga fase. Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan Abd al-Aswad ad-Dualy untuk meletakkan tanda baca pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, al-Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya.
Misalnya, huruf ba' dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, al-Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay bin Ya'mar.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan Alquran bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk menuliskan Alquran dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman bacaan Alquran baik bagi umat Islam yang keturunan Arab ataupun non-Arab ('ajam).
Baru kemudian, pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca Alquran.
Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.