REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan waktu, hari, bulan dan tahun yang berpaku pada peredaran tata surya terutama bulan, memiliki peranan dan fungsi, seperti matahari dan yang sangat vital dalam Islam. Perubahan tersebut dijadikan sebagai dasar dan acuan menentukan waktu pelaksanaan sejumlah ibadah penting diantaranya perintah shalat, puasa dan haji.
Sebagaimana firman Nya, Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Kata kanlah: Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. (QS Al Baqarah [2] : 189). Konon, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, cara penentuan waktu dan perubahan tanggal masih ditempuh dengan cara sederhana dan tradisional.
Masyarakat saat itu, termasuk bangsa Arab, menggunakan penglihatan kasat mata guna menentukan pergeseran waktu dan hari. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tatkala ilmu falak atau astronomi muncul dan mulai dikenal di dunia Islam, para ulama pun berselisih pandang terkait hukum keabsahan dan akurasi yang dihasilkan dari metode ilmu falak.
Kehadiran ilmu falak, oleh sebagian kalangan ditolak dengan alasan disiplin ilmu ini dibangun di atas pondasi yang tidak ilmiah. Selain astronomi, menurut mereka, merupakan hasil prediksi manusia yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ilmu ini juga dinilai telah terkontaminasi dengan ramalan yang kerap digunakan oleh para peramal dan dukun.
Diantara ulama yang berpandangan demikian yaitu Ibnu Taimiyah, Al Nawawi, Ibnu Bathal dan Ibn Hajar. Akan tetapi, anggapan tersebut ditepis oleh para ulama kontemporer antara lain Syekh Ahmad Syakir dan DR Muhammad Al Zurqa. Dalam pandangan kelompok ini, perkembangan ilmu falak yang cukup pesat dan didukung oleh teknologi yang mumpuni semakin mempersempit kemungkinan terjadi kesalahan yang dihasilkan dari kajian ilmu falak.
Disamping itu, menurut DR Usamah Abdullah Khayyath, peneliti di Lembaga Riset Ilmiah Alquran dan Sunnah (al- Hai’at al-‘Alamiyat li al-I’jaz al-‘Ilmi fi Al-Qur’an wa Assunnah), Alquran baik secara tersirat ataupun tersurat menegaskan urgensi untuk mempelajari fenomena alam yang terjadi dalam peredaran tata surya.
Sehingga apabila dilakukan kajian mendalam terhadap kandungan Alquran, ditemukan komponen-komponen baik surah ataupun ayat yang menegaskan tentang perhatian Islam terhadap fungsi dan kedudukan astronomi. Sebagai contoh, dalam beberapa ayat Alquran menyebutkan nama-nama benda yang merupakan bagian tata surya antara lain kata matahari (syams) yang diulang sebanyak 33 kali, bulan (qamar) 27 kali, dan kata bintang (najm) yang berjumlah 13 kali.
Selain penggunaan kata-kata tersebut, juga terdapat sejumlah surah Alquran yang namanamanya diambil dari unsur tatasurya misalnya surah Al- Qamar (bulan), Al-Najm (bintang), As-Syams (matahari), Al- Ma’arij (tempat-tempat naik), dan Al-Buruj (bintang-bintang).
Alquran menyerukan umat manusia untuk melakukan kajian terkait manfaat dan makna dari peralihan waktu dari siang ke malam hari. Sesungguhnya dlam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (QS Ali Imran (3) : 190).
Dan, Alquran secara jelas menegaskan, salah satu tujuan penciptaan tata surya yaitu agar bisa digunakan sebagai alat ataupun dasar dalam mengetahui perubahan waktu, hari, bulan dan tahun. Sebagaimana firman-Nya : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilang an tahun dan perhitungan (waktu). (QS Yunus [10] : 5).