Senin 22 Jul 2019 02:06 WIB

Kiprah Ilmuwan Muslim Klasik di Iskandariah, Mesir (2-Habis)

Geliat aktivitas intelektual ilmuwan Muslim di Iskandariah terdisrupsi Perang Salib

Mercusuar Alexandria
Mercusuar Alexandria

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Iskandariah, Mesir, pula peradaban Islam mulai berkenalan dengan ilmu pengobatan dan filsafat pemikiran yang dikembangkan bangsa Yunani Kuno.

Karya para pemikir dari masa silam, seperti Hippocrates, Plato, Aristoteles, Sokrates, Pytagoras, Archimedes, dan Galen, diterjemahkan oleh para pakar di perpustakaan yang ditaja para sultan Muslim. Iskandariah menjadi salah satu sentra perkembangan sains dan literasi di samping kota-kota lainnya, semisal Jundisyapur (Persia) dan Harran (Suriah).

Baca Juga

Pada abad ketujuh, ilmuwan Abdul Malik al-Kinanu dari Kuffah (Irak) belajar di Perpustakaan Iskandariah. Setelah itu, dia bekerja pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Atas sarannya, penguasa Bani Umayyah itu memindahkan pusat kajian kedokteran dari Iskandariah ke Antiokhia (perbatasan selatan Turki).

Secara garis besar, ilmu pengobatan Islam pada zaman keemasan mengembangkan lebih lanjut pencapaian-pencapaian dari berbagai peradaban yang datang sebelumnya, terutama Yunani Kuno, Persia, dan India.

Di Iran, pakar matematika Abu al-Wafa’ Buzjani (wafat 998) mengomentari Almagest karya Claudius Ptolemeus yang terbit di Iskandariah pada 140 SM. Komentar itu dituangkannya dalam buku berjudul al-Kamil. Untuk diketahui, kitab Almagest memaparkan astronomi kuno yang berhaluan geosentrisme (bumi sebagai pusat semesta).

Sementara itu, al-Kamil bereksplorasi lebih lanjut dengan mengoreksi teori gerak Bulan versi Ptolemeus, serta mengajukan gagasan bahwa Bumi dan planet-planet lainnya mengitari matahari (heliosentrisme). Beberapa penemuannya belakangan diklaim sejumlah ilmuwan Barat, antara lain Copernicus (1473-1543).

Geliat perkembangan Iskandariah sebagai kota riset dan perniagaan mendapatkan tantangan besar sejak serbuan pasukan Salib menjelang akhir abad ke-14. Meskipun berlangsung hanya beberapa hari, dampak yang ditimbulkannya cukup signifikan.

Ratusan orang tewas, sedangkan tidak kurang dari lima ribu penduduk setempat dipaksa menjadi budak. Serangan yang terkesan mendadak itu tidak diiringi pendirian rezim baru. Raja Peter yang memimpin balatentara Salib hanya pergi meninggalkan Iskandariah yang hancur lantaran ulahnya.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement