Senin 15 Jul 2019 16:23 WIB

PPHI: Badan Halal Setingkat Kementerian Usulan Bagus

Industri halal bukan hanya produk makanan.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agung Sasongko
Pengarah Tim Percepatan Wisata Halal, Riyanto Sofyan (kedua kanan)
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Pengarah Tim Percepatan Wisata Halal, Riyanto Sofyan (kedua kanan)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ketua Umum Perkumpulan Pariwisata Halal (PPHI) Riyanto Sofyan menilai, usulan terkait pembentukan badan setingkat kementerian untuk pengembangan industri halal merupakan ide yang baik. Dengan begitu, produk dan jasa halal dapat bersaing di pasar global.

"Usulannya bagus, tapi yang terpenting, pertama, bahwa dalam industri ini, yang dijual adalah produk dan jasanya. Ini semua harus bisa bersaing di pasar global. Termasuk juga produk atau jasa yang umum, bukan hanya yang halal saja," kata dia kepada Republika.co.id, Ahad (14/7).

Untuk bisa menjadi seperti itu, lanjut Riyanto, perlu ada keterlibatan pemerintah. Maka dalam kondisi ini, pemerintah harus mengayomi semua sektor yang terkait industri halal karena menurutnya industri halal bersifat multidisplin dan lintas sektoral.

"(Industri Halal ini) bukan hanya produk makanan. Jadi bisa masuk ke (Kementerian) Perindustrian, lalu (Kementerian) Perdagangan, dan jasa di mana ini bisa masuk ke (Kementerian) Keuangan, di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Juga terkait dengan Kementerian Pariwisata dan ekonomi kreatif," katanya.

Riyanto juga mengingatkan, badan setingkat kementerian itu harus jelas tugas pokok dan fungsinya. Apalagi saat ini sudah ada Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang kemungkinan berganti menjadi KNES, yakni ekonomi syariah.

Ruang lingkup komite ini, kata dia, terbatas karena tidak dapat melakukan eksekusi atas suatu kebijakan yang dikeluarkan. "Jadi kalau ada satu bagian (badan setingkat kementerian), yang bisa untuk ke sana, itu bagus," jelasnya.

Riyanto mengambil contoh Malaysia. Di Malaysia, hukum syariah yang dikeluarkan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) menjadi hukum positif dan wajib dilaksanakn oleh Muslim. Terlebih JAKIM sendiri berada di bawah langsung perdana menteri.

"Jadi kalau ada satu badan yang bisa eksekusi sendiri tapi juga dilegitimasi oleh dewan syariah nasional Indonesia, tentu jadi sangat bagus sekali. Tapi badan ini harus berkoordinasi dengan kementerian teknis yang lainnya karena enggak mungkin satu badan itu bisa menguasai semua," ucapnya.

Riyanto melanjutkan, di tiap kementerian juga perlu ada pejabat yang khusus menangani ekonomi syariah untuk memudahkan koordinasi dengan kementerian yang terkait dengan pengembangan industri halal. "Karena enggak ada pejabat yang menangani bidang ekonomi syariah di kementerian terkait ini, jadi mungkin enggak punya anggaran untuk melaksanakan itu. Jadi mentah lagi," paparnya.

Misalnya menurut Riyanto, di Kementerian Perindustrian perlu ada pejabat selevel eselon II menangani syariahnya. Termasuk juga di Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pariwisata. Setidaknya, kata dia, ada jabatan direktur yang membidangi syariah. Sebab di Kementerian Pariwisata Malaysia saja itu ada pejabat eselon 1 yakni direktur jenderal yang membidangi urusan syariahnya.

Badan setingkat kementerian itu, jelas Riyanto, juga harus dilengkapi dengan ulama sehingga punya kekuatan fatwa. "Jangan sampai nanti seperti BPJPH. Agak sulit juga tuh. Jadi tetap harus koordinasi dengan ulama. Jadi itu yang harus dipikirkan. Badan ini tupoksinya harus jelas, dan jangan juga tumpang tindih. Percuma juga gitu, kebanyakan badan," tuturnya.

Riyanto menambahkan, selain ada institusi pemerintahnya, pengembangan industri halal di Indonesia juga harus diimbagi dengan keberadaan Badan Usaha Milik Negara. Contohnya seperti Malaysia. Di sana ada BUMN yang menunjang pengembangan bernama Halal Development Corporation (HDC).

"BUMN-nya seperti HDC yang itu adalah PT, yang visi-misinya mendorong pengembangan industri halal. Jadi harus terancang dengan baik," ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement