REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Nawawi
Menjadi seorang Muslim sesungguhnya anugerah tiada tara. Bahkan, iman yang ada di dalam dada setiap Muslim merupakan bukti pilihan Allah terhadap keselamatan kehidupan kita di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kaum Muslimin dituntut untuk berpikir dengan sungguhsungguh perihal nikmat iman dan Islam yang telah dianugerahkan oleh-Nya.
"Dan tidak ada seorang pun akan beriman kec uali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemur kaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." (QS Yunus [10]: 100). Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, orang yang tidak mau mempergunakan akalnya untuk berpikir dan memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya sama dengan orang yang gila dan sesat. Bahkan, orang-orang kafir benar-benar sangat buruk ke adaannya.
"Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan bu ta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti." (QS al-Baqarah [2]: 171).
Kalimat, "Mereka tuli, bisu, dan buta," menandakan orang-orang yang tidak Allah izinkan iman bersarang di dalam hatinya akan menjadi orang yang tidak dapat mendengar kebenaran, tidak dapat mengatakan kebenaran, dan tidak dapat melihat jalan menuju kebenaran (Islam). Demikian ditegaskan oleh Ibn Katsir.
Dengan demikian, iman dan Islam yang telah Allah anugerahkan dalam hidup ini harus benarbenar disadari dan disyukuri, yang ditindaklanjuti dengan tradisi berpikir dan berdzikir sehingga lahir cara pandang Ilahiyah di dalam memandang kehidupan ini. Sebagaimana diteladankan oleh para Nabi dan Rasul yang telah Allah uraikan dengan begitu gamblang di dalam kitab suci Alquran.
Hanya dengan membudayakan tradisi pikir dan zikir, iman di dalam hati akan senantiasa terawat, lebih kuat, dan kokoh. Pada saat yang sama, keberadaan seorang Muslim yang demikian, di mana pun dan kapan pun akan senantiasa mampu menghadirkan kemanfaatan dan kemaslahatan bagi kehidupan.
Lihatlah bagaimana Utsman bin Affan RA dengan kekayaannya rela dan percaya diri menghadirkan kemanfaatan dan kemaslahatan begitu banyak bagi kehidupan umat Islam. Kala musim kemarau tiba, kekeringan melanda banyak tempat, hanya ada satu sumber mata air yang tetap mengalir di tengah kemarau panjang itu, itu pun milik seorang Yahudi. Kala ditawarkan dengan harga sangat tinggi, tanpa ragu Utsman pun langsung membelinya.
Harta dan kekayaan bagi seorang Utsman tidak lebih bernilai jika dibandingkan keimanan dalam hatinya. Oleh karena itu, ia sangat ringan mengeluarkan harta dalam jumlah besar demi menyelamatkan kehidupan umat Islam sekaligus mengokohkan iman di dalam hatinya.
Lantas bagaimana jika tidak seperti Utsman RA yang memiliki kekayaan? Abdurahman bin Sakhr alias Abu Hurairah RA, misalnya, adalah sosok sahabat yang tidak memiliki kekayaan harta, bahkan tempat tinggal pun tidak punya.
Namun, rasa bangganya sebagai Muslim, mendorong dirinya tak pernah jauh dari Rasulullah SAW yang membuatnya mampu menjadi perawi lebih dari 5.000 hadis. Sebuah prestasi luar biasa di tengah hidup yang tak berada. Jadi, apa yang menghalangi munculnya rasa bang ga menjadi Muslim dalam diri kita saat ini?