REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Al-Ghazali sangat menentang pemikiran yang disebut 'manusia ekonomi'. Menurut dia, konsep itu memisahkan etika serta bermasyarakat. Ajaran Islam, kata al-Ghazali, sangat erat dengan dimensi sosial. Terdapat jenjang sosial, mulai dari individu, keluarga, tetangga, komunitas, hingga umat.
Demikian juga kegiatan amal, berbagi, atau menyantuni, menjadi elemen mendasar pada lingkup sosial kemasyarakatan. Menurut John L Esposito, al-Ghazali tidak hanya berupaya menghidupkan kembali disiplin-disiplin Islam, tapi juga memperbarui masyarakat secara praktis.
Dalam karyanya, ia memberikan penilaian atas peran berbagai kelompok masyarakat.
Ia mengkritik para pakar Muslim lain. Keduniawian telah memalingkan mereka dari fungsi utamanya membimbing penguasa dan orang awam. Selain itu, mereka seolah menutup mata terhadap masalah nyata dan mendesak yang dihadapi masyarakat.
Prinsip dasar ekonomi tak lepas dari amatannya. Al-Ghazali menilai, kegiatan ekonomi harus lekat dengan unsur moral dan etika. Dua hal perlu ditekankan, yakni kepedulian untuk menyisihkan sebagian hartanya bagi kepentingan umat dan masyarakat. Lalu, seseorang diharapkan bisa menginternalisasi nilai dalam kehidupan sehari-hari.
Pemerintah atau negara hendaknya memiliki keberpihakan terhadap rakyat yang kurang mampu. Negara juga memastikan konsep itu dipraktikkan secara nyata. Al-Ghazali mengatakan, stabilitas menjadi kunci. Tanpa itu, sulit melaksanakan upaya peningkatan kesejahteraan.
Pembangunan negara ideal, jelas dia, harus berlandaskan etika dan keadilan, dan membutuhkan pemerintahan yang baik. Tugas utama pemerintah tersebut adalah menciptakan keadilan, termasuk keadilan sosial. Pada bagian lain, dia mensinyalir ada korelasi antara ketidakadilan dan kemiskinan.
Dia menganggap, sebagian penguasa menyalahgunakan kekayaan publik. Ia segera meluruskan penyimpangan itu. Ia menulis surat kepada beberapa sultan dan wazir, mengingatkan tentang tugas utama mereka. Ia juga mencela orang-orang kaya yang enggan bersedekah.