REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Al-Ghazali hidup ketika peradaban Islam mencapai puncak kejayaan. Kemajuan melingkupi segenap bidang. Perekonomian, budaya, ilmu pengetahuan, dan agama mengalami perkembangan pesat. Namun, ia masih melihat adanya kesenjangan, masih terdapat warga miskin. Ada keprihatinan dalam dirinya.
Cendekiawan yang juga seorang ulama ini tergerak memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah tersebut. Ia ingin mengubah kondisi, terutama melalui ranah pemikiran dan intelektual. Ia kemudian merumuskan konsep yang mendorong terwujudnya keadilan sosial di tengah masyarakat.
Konsep ini sangat terkenal serta menjadi rujukan hingga berabad lamanya. Namanya kian tenar. Ia semakin diperhitungkan sebagai ilmuwan berpemikiran cemerlang dan berpengaruh dalam peradaban Islam. Tak heran jika Abu Hamid al-Ghazali dijuluki bahrum muqhriq atau laut yang menenggelamkan.
Sebab, ia mempunyai kecerdasan dan kemampuan menguasai berbagai disiplin ilmu. Ia dikenal sebagai seorang teolog muslim, fakih, dan sufi abad pertengahan. John L Esposito dalam buku Sains-sains Islam, mengatakan, sedikit tokoh dalam sejarah intelektual Islam yang mempunyai pengaruh sekuat al-Ghazali.
Al-Ghazali mengupayakan pemaduan ilmu-ilmu yang ia kuasai dan mengundang kekaguman berbagai kalangan, baik Muslim maupun non-Muslim. Tokoh ini dilahirkan pada 450 H/ 1058 M di Kota Thus, wilayah Khurasan. Sejak kecil, ia sudah memperlihatkan bakat mengagumkan pada bidang ilmu pengetahuan.
Ia menimba ilmu tasawuf, hukum, filsafat, dan teologi, dari beberapa guru terkenal, antara lain Ahmad bin Muhammad al-Radzakani, Imam Abu Nushr al-Ismaili, Abu al-Ma’ali al-Juwaini, dan Abu Ali al-Faramadi. Ia juga pernah menjalani kehidupan sufi selama beberapa waktu.
Al-Ghazali meneruskan kiprah keilmuannya di Thus. Pada usia 34 tahun, ia diangkat sebagai guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah, Baghdad. Kapasitas keilmuan berkontribusi membuatnya sebagai penulis yang produktif. Tidak kurang dari 400 karya telah dihasilkan.