REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
Suatu ketika, Ibrahim bin Adham menunaikan haji ke Baitullah dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang Arab Badui yang menaiki unta. Orang Badui itu bertanya, "Wahai kakek, mau kemanakah Engkau?"
Kemudian, Ibrahim menjawab, "Ke Baitullah."
"Bagaimana bisa sampai ke sana, padahal Anda berjalan kaki dan tidak punya kendaraan?" tanya si Badui.
"Saya punya banyak kendaraan," jawab Ibrahim.
"Kendaraan apa sajakah itu?" tanya si Badui lagi.
Ibrahim menjawab, "Jika ada kemalangan menimpaku, aku mengendarai ‘sabar’. Jika kenikmatan diberikan kepadaku, aku mengendarai ‘syukur’. Jika ada yang ditakdirkan untukku, aku kendarai ‘kerelaan’. Dan, jika nafsuku mengajak untuk melakukan sesuatu, aku kendarai ‘pengetahuanku’, bahwa apa yang tersisa dari umurku tak lebih banyak dari yang telah kugunakan."
***
Sepenggal kisah di atas sarat pelajaran moral. Sejatinya, ibadah haji merupakan perjalanan demi pembebasan diri dari penjara dunia (status sosial, ekonomi, dan politik), penjara nafsu, dan penjara masa lalu (sejarah) menuju orbit spiritualitas dan otentisitas sebagai hamba.
Haji bukan semata ritualitas fisik yang menguras tenaga, tapi otentisitas cinta Ilahi yang melejitkan kedalaman spiritual dan keluhuran moral. Sebagai pembebas dari penjara dunia, haji harus dimulai, dikawal, dan diparipurnakan dengan kendaraan keikhlasan.
Dan, hanya karena Allahlah mengerjakan haji itu adalah kewajiban manusia, yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah... (QS Ali Imran [3]: 97). Dan, sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah... (QS Al-Baqarah [2]: 196).
Haji yang ikhlas karena Allah semata adalah kunci pembebasan diri dari segala aksesori duniawi. Dalam Alquran, hanya ibadah haji yang redaksi pengwajibannya diawali dan diakhiri dengan kata Lillahi. Jika tidak Lillahi, boleh jadi haji tak berpengaruh apa-apa terhadap kualitas hidup seseorang.
Sebagai pembebas nafsu, haji ibarat proses pembelajaran dan pembekalan hidup bermakna, yakni hidup yang terbebas dari penjajahan nafsu, syahwat, angkara murka, serakah, egoisme, dan sebagainya. Karena itulah, modal pembelajaran yang terbaik untuk perjalanan haji adalah takwa.
Dan, bawalah bekal, karena sebaik-baik bekal adalah takwa... (QS Al-Baqarah [2]: 197). Takwa adalah pakaian integritas moral yang membentengi dari segala godaan hawa nafsu, baik selama berhaji maupun sepulang haji.
Ibadah haji juga harus didesain untuk membebaskan diri dari masa lalu yang tak baik dan sarat dengan dosa personal serta sosial. Karena itu, ketika memenuhi panggilan-Nya, hamba harus melakukan taubatan nashuha dan berkomitmen tak kembali ke masa silam yang kelam.
Ia harus mereformasi iman, ilmu, dan amal demi masa depan yang lebih bermakna. Sepulang haji, moralitasnya wajib menjadi lebih terpuji, etos belajarnya dan kinerjanya semakin meningkat. Kemabruran haji tak bisa dibeli, tapi harus diniati, diperjuangkan, dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.