Rabu 03 Jul 2019 06:20 WIB

Jejak Interaksi Dunia Islam dengan Jepang

Interaksi masyarakat dunia Islam dan Jepang baru dimulai akhir abad ke-19.

Muslim Jepang
Foto: (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Muslim Jepang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang sejarahnya pada masa lalu, Jepang telah menjadi semacam tempat misterius bagi para pelancong, pembuat peta, pedagang, dan ilmuwan di berbagai belahan dunia. Itu disebabkan kebijakan isolasi (politik tertutup) yang pernah diterapkan penguasa di negara itu antara 1633–1853 silam.

Negeri Sakura yang terisolasi pada masa lampau membuat masyarakat dunia lebih memfokuskan interaksinya dengan negara-negara terbuka atau wilayah-wilayah lain yang lebih mudah mereka jangkau. Tidak terkecuali dengan masyarakat Muslim.

Meski Islam telah menyebar dan berkembang di daratan Cina dan kawasan Asia Tenggara selama berabad-abad, interaksi secara luas antara kaum Muslim dan masyarakat Jepang justru baru dimulai menjelang akhir abad ke-19.

Meski demikian, tidak banyak yang tahu bahwa komunikasi antara kedua peradaban tersebut sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum itu. Umat Islam setidaknya telah mengenal negeri "al-Yaaban" (sebutan Jepang dalam bahasa Arab—Red) sejak abad ke-15.

Bahkan, negeri kepulauan itu pertama kali muncul di peta buatan seorang sarjana Muslim Persia bernama Hafiz-i Abru pada 1430. Pada abad ke-17, seorang sejarawan Utsmaniyah menggambarkan masyarakat "Japonya" (sebutan Jepang dalam bahasa Turki) sebagai orang-orang yang suka mandi air dingin dan memiliki moral yang tinggi.

"Orang Jepang mungkin juga memiliki gagasan dasar yang sama tentang kaum Muslim dan mereka mungkin pernah bertemu pa ra pedagang atau diplomat Muslim selama berabad-abad. Kemungkinan individu Mus lim yang menetap di Jepang selama periode ini juga tidak dapat dikesampingkan," tulis peneliti sejarah Islam asal Kanada, Hassam Munir, dalam artikelnya berjudul "The Long and Fascinating Journey of Islam to Japan" yang dilansir laman Mvslim.com, Agustus lalu.

Namun, pada akhir abad ke-19, dua tren paralel tiba-tiba menggelitik minat orangorang Muslim dan Jepang antara satu sama lain. Tren yang pertama adalah terkait dengan imperialisme Eropa di dunia Islam. Sementara, tren yang kedua adalah kemunculan Jepang sebagai kekuatan politik di Asia dan kemampuannya bertahan melawan kekuatan Eropa yang predator.

Kedua kondisi itulah yang lantas mendorong Sultan Abdulhamid II dari Kesultanan Turki Utsmaniyah berusaha membangun hubungan persahabatan dengan Negeri Mata hari Terbit. Ia mengirimkan kapal perang nya yang bernama Ertugrul ke Jepang pada 1889.

Kapal perang yang mengangkut 609 pe laut Utsmaniyah itu ditugaskan membawa hadiah untuk Kaisar Meiji (yang memerintah Jepang antara 1867-1912). Sebelum Sultan Abdul hamid II mengirimkan Ertugrul ke Jepang, salah seorang saudara laki-laki dari Kaisar Meiji sudah lebih dulu mengunjungi Istanbul (ibu kota negara Utsmaniyah), dua tahun sebelumnya.

Ertugrul berhasil tiba di Jepang dengan selamat. Sesampainya di sana, penumpang kapal itu disambut dengan keramahan yang luar biasa oleh para pimpinan dan rakyat Negeri Matahari Terbit. Namun, nahas, da lam perjalanannya kembali ke Istanbul pada 1890, topan besar menghantam Ertugrul saat kapal itu sedang berada di perairan se latan Jepang. Bencana tersebut menyebab kan tewasnya 550 penumpang kapal itu dan hanya menyisakan 69 orang yang selamat. Nasib Ertugrul memang berujung tragis.

Namun, misi pelayaran terakhirnya berhasil mem bentuk hubungan positif antara Kesultanan Turki Utsmaniyah dan Kekaisaran Je pang. "Sampai sekarang, orang-orang Jepang dan Turki selalu rutin memperingati insiden Kapal Ertugrul setiap lima tahun sekali, meskipun rezim yang memerintah di kedua negara telah berulang kali mengalami pergantian," ungkap Ketua Pusat Studi Islam Jepang, Prof Salih Mahdi al-Samarrai, dalam artikelnya berjudul "Islam in Japan Before 1900."

Pada 1892, atau tepatnya dua tahun pascainsiden Kapal Ertugrul, seorang cendekiawan Jepang bernama Torajiro Yamada tiba di Istanbul. Tujuannya berkunjung ke ibu kota Kesultanan Turki Utsmaniyah ketika itu adalah untuk menjalankan misi sosial dan politik yang ia terima dari negaranya. Di negerinya, Torajiro dikenal sebagai pemuda yang terpelajar. Dia memainkan peran an penting dalam kampanye penggalangan dana di kota-kota besar Jepang, untuk menyantuni keluarga para pelaut Utsmaniyah yang tewas dalam Insiden Kapal Ertugrul.

Pada saat melakukan penggalangan dana tersebut, Torajiro mendapati bahwa simpati yang ditunjukkan masyarakat Jepang terhadap saudara-saudara Turki mereka sangatlah luar biasa. Dalam waktu relatif singkat, jumlah uang yang terkumpul mencapai 5.000 yen—atau setara 100 juta yen (hampir Rp 12 miliar) dengan nilai mata uang saat ini.

Kekaisaran Jepang pun lantas meminta Torajiro untuk mengantarkan langsung uang itu ke Istanbul. Setelah misinya di Istanbul selesai, lelaki itu lalu mengunjungi Mesir. Dia memutuskan untuk menetap di sana selama 20 tahun berikutnya. Selama berada di Mesir, Torajiro berusaha melakukan semua yang dia bisa untuk mempererat hubungan politik dan budaya antara Kekaisaran Jepang– Kesultanan Turki Utsmaniyah.

Pada kemudian hari, Torajiro Yamada memutuskan untuk memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Khalil Yamada. Dia pun tercatat sebagai orang asli Jepang kedua yang memeluk Islam setelah Seitaro Noda—yang mengganti namanya menjadi Abdul Haleem Noda.

Kekaguman dunia Islam terhadap Negeri Samurai semakin bertambah tatkala tentara Jepang berhasil mengalahkan pasukan militer Rusia dalam satu perang yang berlangsung pada 1905. Para pengamat Muslim menyaksikan dengan takjub bahwa Jepang yang selama ini hanya dianggap sebagai negara kecil di Asia ternyata mampu menghancur kan negara besar Eropa sekelas Rusia.

Kemenangan Jepang ketika itu disambut gembira oleh sebagian besar masyarakat Muslim. Tambahan lagi, sentimen dunia Islam terhadap Rusia pada masa itu juga terbilang negatif, disebabkan penindasan yang dilakukan negara itu kepada kaum Muslim di Asia Tengah selama beberapa generasi.

Pascakemenangan Jepang dari Rusia, seorang perwira militer Mesir bernama Ahmad Fadhli memutuskan untuk mendaftarkan diri di sebuah akademi militer di Tokyo pada 1905. Dia tinggal di ibu kota Negeri Sakura itu selama beberapa tahun dan menikahi seorang perempuan Jepang.

Pada 1907, seorang ilmuwan Islam Mesir bernama Ali Jaljawi mengunjungi Jepang untuk menghadiri konferensi agama-agama dunia yang diadakan di Tokyo pada waktu itu. Tahun berikutnya, Maulvi Barkatullah tiba dari India, diangkat menjadi guru di Sekolah Bahasa Asing Tokyo. Dia mengajar di sana selama lima tahun.

Selanjutnya, pada 1909, seorang Tatar asal Rusia bernama Abd al-Rasyid Ibrahim melarikan diri ke Jepang untuk mendapatkan suaka politik dari pemerintah Negeri Matahari Terbit. Dia menjadi buronan aparat ke amanan Rusia lantaran kegigihannya memperjuangkan kemerdekaan bangsa Tatar. Abd al-Rasyid tercatat sebagai salah satu ulama pertama yang melakukan syiar Islam di Jepang. Lewat kegiatan dakwahnya, banyak penduduk pribumi di negeri itu yang mendapat hidayah dan beralih memeluk Islam.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement