Selasa 02 Jul 2019 06:46 WIB

Cirebon Miliki Banyak Manuskrip Keagamaan

Jumlah naskah keagamaan begitu melimpah di Cirebon.

Sekretaris Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Cabang Cirebon, Nurhata sedang memeriksa manuskrip keagamaan Cirebon.
Foto: Republika/Fuji Eka Permana
Sekretaris Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Cabang Cirebon, Nurhata sedang memeriksa manuskrip keagamaan Cirebon.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cirebon yang namanya lekat dengan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati banyak melahirkan kaum intelektual dan ulama. Kemajuan Kesultanan Cirebon di berbagai bidang telah mendorong penduduknya ke level yang lebih atas. Karena itu, Cirebon banyak meninggalkan manuskrip-manuskrip keagamaan.

Sekretaris Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Cabang Cirebon, Nurhata, menyampaikan, jumlah naskah keagamaan begitu melimpah di Cirebon. Seperti naskah tauhid, fikih, tasawuf, Alquran, Hadis, dan kitab tauhid. Naskah-naskah tersebut ditulis dengan bahasa Arab, Jawa, Melayu, dan Sunda.

"Naskah tersebut menggunakan aksara Jawa, Arab, Jawi, dan Pegon, sementara alas tulis yang digunakan, yaitu kertas Eropa, daluwang, lontar, dan kertas bergaris. Tapi, kebanyakan naskah ditulis dengan bahasa Jawa dan aksara yang digunakan Pegon dan Jawa," kata Nurhata kepada Republika di Bogor, belum lama ini.

Menurutnya, kegiatan penulisan naskah-naskah keagamaan bukan hanya berpusat di keraton Kesultanan Cirebon. Kegiatan penulisan juga dilakukan di berbagai tempat, menyebar di rumah-rumah penduduk dan pesantren.

Di sana dapat dijumpai berbagai naskah keagamaan meskipun tidak mudah untuk menemukannya. Namun, kondisi nas kah yang tersimpan di pesantren dan rumah penduduk memprihatinkan, tidak seperti naskah yang disimpan keluarga keraton.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Nurhata mengatakan, naskah keagamaan paling tua yang ditemukan di Cirebon berjudul Peta rekan. Terdiri atas 21 halaman, alas tulisnya menggunakan kertas Eropa, ditulis dengan aksara Pegon dan berbahasa Jawa. Naskah disimpan di Keraton Kacirebonan.

"Isinya ajaran-ajaran Tarekat Sayattariyah ditulis pada tahun 1118 Hijriyah atau sekitar tahun 1630-1631 M, kondisi naskah rapuh dan banyak halaman yang sukar dibaca," ujarnya.

Nurhata menyampaikan, sejumlah naskah keagamaan ada yang terjemahan langsung dari teks asli. Namun, ada pula yang sudah di ubah untuk disesuaikan dengan tingkat pemahaman masyarakat setempat. Sehingga, ma syarakat awam dapat memahami kandungan isi naskahnya.

Kemudian, hasil dari proses adaptasi itu menghasilkan suatu naskah yang sangat kental dengan nuansa lokalnya. "Oleh masyarakat awam, naskah semacam itu lebih dikenal dengan istilah petarekan yang biasanya berisi ajaran tasawuf atau masalah ketauhidan," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement