Senin 01 Jul 2019 11:21 WIB

Kisah Kerendahan Hati Penulis Naskah Keagamaan

Kerendahan hati seorang penulis muncul karena karyanya bukan lagi milik pribadi.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agung Sasongko
Peneliti Mauskrip, Mahrus sedang memeriksa manuskrip Cirebon di Berlin, Jerman.
Foto: Republika/Fuji E Permana
Peneliti Mauskrip, Mahrus sedang memeriksa manuskrip Cirebon di Berlin, Jerman.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Wilayah Kesultanan Cirebon saat dipimpin Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati mencapai puncak kejayaan di berbagai sektor. Salah satunya agama Islam meluas serta berkembang pesat di wilayah Cirebon dan sekitarnya.  

Sekarang dapat ditemukan ribuan naskah atau manuskrip keagamaan Cirebon sisa dari kejayaan dan kemajuan peradaban Kesultanan Cirebon. Uniknya, sebagian besar naskah tidak menyebutkan nama penulis dan waktu penulisannya. 

Sekretaris Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Cabang Cirebon, Nurhata mengatakan, mereka tidak menuliskan namanya karena menanggap diri mereka tidak penting untuk diketahui publik. Menurutnya, itu sebagai bentuk kerendahan hati para penulis naskah keagamaan.

"Nama diri sang penyalin atau penulis naskah keagamaan pada umumnya tidak disebutkan dalam naskah, ini terkait semacam suatu konvensi bahwa nama diri penulis tidak begitu urgen dalam suatu karya," kata Nurhata saat diwawancarai Republika, pekan lalu.

Ia menerangkan, kalaupun nama penulis disebutkan dalam suatu naskah keagamaan, biasanya ditulis dengan bahasa-bahasa merendah. Contohnya ada penulis naskah keagamaan yang menulis, hamba orang fakir, bodoh, tidak mengerti sastra dan bahasa-bahasa merendah lainnya. 

Menurutnya, sikap tawadhu semacam itu tampaknya sudah menjadi bagian dari etika penulisan pada masa lalu di Cirebon. Seperti penulis naskah Kitab Merad (koleksi Keraton Kacirebonan), sang penulis mengaku dirinya sebagai orang yang tidak berakhlak. Kemudian penulis naskah Tarekat Syattariah Muhammadiah, mengaku dirinya orang bodoh dan miskin.

"Kerendahan hati seorang penulis karena suatu keniscayaan bahwa apa yang ditulisnya tidak lebih dari hasil menyalin atau mengubah dari suatu teks lain yang sudah tersedia, meskipun dalam praktiknya membutuhkan kemampuan besar serta ketelitian," ujarnya.

Menurut Nurhata, para penulis naskah di masa lalu menyadari bahwa karyanya bukan lagi milik pribadi. Karena yang dilakukannya hanya mengadaptasi suatu teks atau kitab ke dalam rangkaian aksara dan bahasa yang mudah dimengerti masyarakat setempat.

Dia juga menemukan bahwa naskah keagamaan yang ditemukan di Cirebon sebagian besar sudah diadaptasi untuk disesuaikan dengan konteks sosial yang ada pada masa itu. Para penulis atau penyalin naskah memahami betul konteks sosial budaya di Cirebon.

Naskah-naskah keagamaan yang pada mulanya beraksara Arab dan bahasa Arab, diberi terjemahan bahasa Jawa dengan aksara Jawa dan Pegon. Tapi kebanyakan naskah tidak memuat informasi penanggalan atau waktu penulisan, serta tidak menuliskan siapa penulisnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement