Selasa 02 Jul 2019 10:43 WIB

Kerendahan Hati Para Ulama dalam Manuskrip Keagamaan Cirebon

Manuskrip keagamaan Cirebon ditulis para ulama yang tawadhu.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Sekretaris Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Cabang Cirebon, Nurhata sedang memeriksa manuskrip keagamaan Cirebon.
Foto: Republika/Fuji Eka Permana
Sekretaris Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Cabang Cirebon, Nurhata sedang memeriksa manuskrip keagamaan Cirebon.

REPUBLIKA.CO.ID, Meski ada ribuan naskah keagamaan di Cirebon, sebagian besar naskah tidak menyebutkan nama penulis dan waktu penulisannya. Karena kerendahan hati para penulis naskah keagamaan, mereka tidak menganggap dirinya penting untuk diketahui publik.

"Nama diri sang penyalin atau penulis naskah pada umumnya tidak disebutkan dalam naskah, ini terkait semacam konsensus bahwa nama diri penulis tidak begitu urgen dalam suatu karya," kata Nurhata.

Baca Juga

Kalaupun nama penulis disebutkan, menurut dia, biasanya ditulis dengan nada-nada merendah. Seperti menulis hamba orang fakir, bodoh, tidak mengerti sastra dan bahasa-bahasa merendah lainnya.   

Menurutnya, sikap tawadhu semacam itu tampaknya sudah menjadi bagian dari etika penulisan pada masa lalu. Seperti penulis naskah Kitab Merad (koleksi Keraton Kacirebonan), sang penulis mengaku dirinya sebagai orang yang tidak berakhlak. Kemudian penulis naskah Tarekat Syatariyah Muhammadiyah, mengaku dirinya orang bodoh dan miskin.

"Kerendahan hati seorang penulis karena suatu keniscayaan bahwa apa yang ditulisnya tidak lebih dari hasil menyalin atau mengubah dari suatu teks lain yang sudah tersedia, meskipun dalam praktiknya membutuhkan kemampuan besar serta ketelitian," kata Nurhata.

Menurut dia, para penulis naskah di masa lalu menyadari bahwa karyanya bukan lagi milik pribadi. Karena yang dilakukannya hanya mengadaptasi suatu teks atau kitab ke dalam rangkaian aksara dan bahasa yang mudah dimengerti masyarakat setempat.

Dia juga menjelaskan bahwa naskah keagamaan yang ditemukan di Cirebon sebagian besar sudah diadaptasi untuk disesuaikan dengan konteks sosial yang ada. Para penulis atau penyalin naskah memahami betul konteks sosial budaya di Cirebon. 

Naskah-naskah keagamaan yang pada mulanya beraksara Arab dan bahasa Arab, diberi terjemahan bahasa Jawa dengan aksara Jawa dan Pegon. Tapi kebanyakan naskah tidak memuat informasi penanggalan atau waktu penulisan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement