REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
Suatu ketika khalifah Ali bin Abi Thalib kehilangan baju besi kesayangannya dalam sebuah perjalanan pada malam hari.
Keesokan harinya, ia mendapatinya berada pada seorang ahli zhimmi (non-Muslim) yang hendak menjualnya di pasar Kufah. "Ini baju besiku yang terjatuh dari untaku,'' ujar Ali, di hadapan ahli zhimmi.
"Tidak, ia milikku, wahai Amirul Mukminin," katanya.
Ali tetap bersikukuh bahwa baju besi itu adalah miliknya dan belum pernah dijual atau dihibahkan kepada siapa pun. Ahli zhimmi itu kemudian meminta persengketaan itu diselesaikan melalui seorang hakim Kufah, yaitu Syuraih bin Al-Harits Al-Kindi. Ali pun sepakat untuk itu.
Keduanya menemuinya di peradilan. Hakim menanyakan persoalan menurut versi masing-masing. Kemudian ia menoleh kepada Ali dan memintanya untuk menghadirkan saksi.
Tapi hakim menolak salah satu saksi yang dihadirkan Ali, yaitu Hasan, anaknya.
Ali menjawab, "Subhanallah! Seorang yang dijamin akan menjadi penghuni surga (Hasan) kesaksiannya tidak diterima. Tidakkah engkau pernah mendengar Rasulullah SAW pernah menyatakan Hasan dan Husain adalah dua pemuda yang menjadi penghuni surga?"
Kata Sang Hakim, ''Benar, wahai Amirul Mukminin. Tapi sebagai hakim saya tidak membolehkan kesaksian seorang anak kepada ayahnya.''
Ketika Ali mengalihkan pandangannya kepada ahli zhimmi, ia berkata, ''Ambillah baju besi itu, karena aku tidak mempunyai saksi selain kedua orang itu.''
Ahli zhimmi itu kemudian menyatakan, "Tapi aku bersaksi baju besi ini adalah milikmu, wahai Amirul Mukminin. Amirul Mukminin menghakimiku di depan hakimnya sendiri, sementara hakim memutuskan perkara dan memenangkanku!'"
Ahli zhimmi itu kemudian bersaksi agama yang menyuruh hal tersebut pastilah benar. Setelah itu, ahli zhimmi menyatakan masuk Islam. Ali terharu dan menyatakan menghibahkan baju besi dan kuda untuknya.
Kisah tersebut memberi tiga pelajaran berharga kepada kita semua. Pertama, tidak ada orang yang kebal hukum, termasuk pemimpin tertinggi (Amirul Mukminin) saat itu, Ali Bin Abi Thalib. Dalam berperkara pemimpin tidak selamanya harus dimenangkan. Kekuasaan tidak dapat mengintervensi proses peradilan. Hukum tidak boleh tunduk kepada kekuasaan, tetapi harus membela kebenaran dan keadilan.
Kedua, keadilan hukum harus ditegakkan kepada siapun, termasuk kepada non-Muslim. Syuraih adalah hakim teladan yang mampu bersikap objektif dalam memutuskan perkara, meskipun yang berperkara itu adalah menantu Rasulllah SAW.
Ketiga, pentingnya kesadaran dan sikap taat terhadap putusan hukum. Ali dengan legawa mau menerima dan patuh terhadap keputusan hakim yang diangkat sendiri, Syuraih. Supremasi hukum memang harus ditegakkan dan dipatuhi oleh semua, tanpa pandang bulu.