REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat memasuki gerbang pernikahan, salah satu komitmen yang harus dipenuhi pasangan, yakni saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Seorang suami atau istri sebelum menikah memiliki kehidupan yang dijalani masing-masing. Sebagai anak manusia, kekhilafan menjadi sifat yang tak mungkin tertolak.
Begitu pula dengan perjalanan rumah tangga. Hampir nihil rumah tangga yang tak sepi dari masalah. Bahkan, keluarga Rasulullah SAW dengan Aisyah RA juga pernah diuji dengan kabar dusta yang beredar saat Aisyah tertinggal dari rombongan.
Jika aib masa lalu yang kita tutupi rapat-rapat tiba-tiba tersingkap oleh pasangan, bolehkah seorang istri berdusta? Begitu pula jika seorang istri berdusta tentang masalah rumah tangga, yang jika ia jujur masalah lebih besar akan datang. Bolehkah berdusta dalam hal seperti itu?
Pada dasarnya berdusta termasuk perbuatan yang dilarang. Berbohong juga satu dari tiga ciri orang munafik. Allah menegaskan jika setiap indra yang kita miliki akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah. “... sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS al-Israa [17]: 36).
Perbuatan dusta juga pasti tercatat oleh Allah SWT. Sehingga, tak seorang pun dapat lari dari konsekuensinya. “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaaf [50]:18).
Ancaman nyata dari orang yang gemar berdusta, yakni neraka. Karena seseorang yang gemar mengungkapkan perkataan dusta, akan menyeretnya untuk melakukan perbuatan maksiat lainnya. “Jauhilah oleh kalian perbuatan dusta. Sesungguhnya dusta itu mengantarkan ke jalan kemaksiatan dan sesungguhnya kemaksiatan itu menyeret ke dalam neraka.” (HR Bukhari-Muslim). Dusta juga bisa menyeret seseorang ke dalam dosa besar jika berbohong atas nama Allah dan Rasul-Nya atau sumpah palsu.
Meski kaidah umum berdusta merupakan terlarang namun beberapa ulama memandang ada beberapa perbuatan dusta yang diperbolehkan. Imam Nawawi dalam Riyadush Shalihin bahkan memasukkan satu bab khusus tentang dusta yang diperbolehkan. Imam Nawawi menyebut ada beberapa kondisi yang membuat dusta boleh dilakukan.
Imam Nawawi menerangkan, ucapan merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan baik yang bisa dicapai tanpa harus berbohong maka haram hukumnya berdusta. Namun, jika untuk mencapai tujuan itu, satu-satunya jalan, yakni dengan berbohong maka berdusta boleh dilakukan.
Hukum berbohong dalam kondisi sebagai satu-satunya jalan keluar juga bertingkat. “Jika tujuannya mubah maka berbohong juga mubah, jika tujuannya wajib maka berbohong juga wajib,” tulis Imam Nawawi.
Kaidah yang dipakai dalam hal ini, yaitu hadis riwayat Muslim dari Ummu Kultsum. Ummu Kultsum berkata, “Aku tidak pernah mendengar Beliau SAW memberi keringanan tentang suatu pembicaraan orang-orang dusta, kecuali dalam tiga hal. Yakni, peperangan, memperbaiki hubungan antarsesama, serta pembicaraan seorang suami kepada istrinya dan seorang istri kepada suaminya.”
Dalam hal ini, maka diperbolehkan dalam hubungan keluarga seorang istri memilih berbohong kepada suaminya. Sebab, jika dengan jujur justru akan mendatangkan madharat yang lebih besar.
Syekh Yusuf Qaradhawi juga menegaskan alangkah tidak bijaksananya seorang istri menceritakan terus terang kepada suami, misalnya kisah cintanya pada masa lalu yang telah dihapuskan dan ditutup aibnya. Bahkan, jika seorang suami memaksa istri untuk bersumpah guna menceritakan masa lalunya, Syekh Qaradhawi memandang paksaan suami tersebut tidak bijak. Pertama, karena mengungkit masa lalu termasuk tindakan yang sia-sia. Kedua sumpah tersebut tidak akan menyelesaikan masalah rumah tangga itu.
Diperbolehkannya berdusta dalam rumah tangga ini juga ditegaskan Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA. Saat ia ditanya istri Ibnu Abi ‘Udzrah tentang apakah boleh seorang wanita boleh berdusta lantaran diminta bersumpah oleh suami? Umar menjawab seseorang itu boleh berdusta, termasuk jika seorang istri tidak menyukai hal-hal tertentu kepada suami, ia boleh tidak jujur kepadanya.
Namun, batasan berbohong dalam rumah tangga, yaitu bohong yang tidak menggugurkan kewajiban pihak masing-masing. Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan bahwa ulama sepakat jika yang dimaksud bohong antara suami-istri yang diperbolehkan, yakni bohong yang tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya