Jumat 21 Jun 2019 17:14 WIB

Wawancara: Kiprah Ulama Betawi Melawan Penjajah (2-Habis)

Sebelum Fatahillah menaklukkan Sunda Kelapa, sudah ada komunitas Muslim Betawi

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Hasanul Rizqa
Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre DKI Jakarta Rakhmad Z. Kiki memaparkan rencana acara Jakarta Islamic Education 2017 kepada redaksi Republika di kantor Republika, Jakarta, Rabu (12/4).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre DKI Jakarta Rakhmad Z. Kiki memaparkan rencana acara Jakarta Islamic Education 2017 kepada redaksi Republika di kantor Republika, Jakarta, Rabu (12/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Republika berkesempatan mewawancarai Kepala Divisi Pendidikan Pelatihan Badan Manajemen Jakarta Islamic Centre (JIC), Ustaz Rakhmad Zailani Kiki. Berikut sambungan dari wawancara sebelumnya.

 

Baca Juga

Bagaimana awal masuknya Islam ke Jakarta?

Berbicara Jakarta, berarti bicara Betawi. Wilayah kebudayaan Betawi dahulu itu meliputi sebagian daerah Karawang, lalu Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, dan Jakarta sendiri. Awal masuknya Islam ke wilayah kebudayaan Betawi, yakni disebarkan oleh Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin dari Campa yang pertama kali singgah di Karawang.

Di situlah pertama kali Islam tersebar, selanjutnya penyebaran semakin luas ke Bekasi dan Jakarta. Proses masuknya Islam tersebut terjadi pada abad ke-14. Jadi istilahnya, saat Fatahillah menyerang Sunda Kelapa, sudah banyak umat Muslim Betawi di daerah pesisir. Sebagian besar penduduk Betawi saat itu sudah masuk Islam.

 

Majelis taklim di Jakarta turut berkontribusi meneruskan perjuangan para ulama?

Majelis taklim menjadi salah satu institusi pendidikan nonformal di Betawi yang sampai hari ini tetap eksis keberadaannya. Dari dulu majelis taklim merupakan wadah untuk mencetak kader ulama di Betawi, selain madrasah dan pondok pesantren (ponpes).

Namun, karena di Betawi Ponpes kurang populer, kebanyakan ulama lahir dari madrasah dan majelis taklim. Beberapa ulama produk majelis taklim, misalnya Muhammad Syafi'i Hadzami. Ada pula KH Abdurrahman Nawi, yaitu ulama Betawi yang masih hidup.

Majelis taklim yang saya maksud di sini, majelis taklim Kitab Kuning ya, sampai sekarang masih ada. Hal itu karena majelis taklim terbagi dua. Ada majelis taklim tematik atau mengangkat tema populer dan ada majelis taklim Kitab Kuning, misalnya membahas Kitab Riyadhus Shalihin serta Kitab Shahih Bukhori.

Perlu waktu lama, bahkan sampai belasan tahun untuk mengkhatamkan kitab-kitab tersebut. Kitab-kitab itu juga diajarkan di pesantren, tapi bedanya kalau di majelis taklim santri tidak perlu mondok dan tidak ada batasan usia.

Kajian Kitab Kuning di Jakarta tersebar sampai Pulau Seribu. Alhamdulillah, tetap eksis dan diminati masyarakat.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement