Rabu 19 Jun 2019 00:00 WIB

Menentukan Skala Prioritas

Penting untuk tentukan skala prioritas terkait haji

 Ilustrasi Haji
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Haji

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Syahruddin El-Fikri

Jika kita bertanya kepada setiap orang yang sudah berhaji, mayoritas mereka akan mengatakan ingin berhaji lagi. Banyak alasan yang dikemukakan. Sedikitnya, ada ada enam hal yang menyebabkan seseorang ingin berhaji lagi. Pertama, haji yang pertama dirasa kurang mantap sehingga mereka berkeingin an ingin mengulanginya agar lebih sempurna. Kedua, berhaji lagi dengan alasan ingin menghajikan orang tua, saudara lainnya yang sudah tidak mampu lagi, atau bahkan yang telah wafat. Dan, dia menjadi badal haji (haji pengganti).

Baca Juga

Ketiga, berhaji lagi karena menjadi muhrim istri, anak, ibu, atau saudaranya. Keempat, berhaji lagi karena menjadi petugas atau pembimbing haji. Kelima, berhaji lagi karena rindu dengan kondisi Masjidil Haram pada musim haji. Keenam, berhaji lagi karena hukumnya sunah. Dari keenam alasan diatas, tampaknya hanya sebagian kecil yang layak dan pantas untuk berhaji lagi. Pertama, karena menjadi badal haji.

Sebab, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW, Orang yang ingin menghajikan orang lain itu wajib atasnya untuk berhaji terlebih dahulu. Karena itu, tidak mungkin hal ini diwakilkan kepada orang yang belum berhaji. Kedua, orang yang cukup tepat untuk mengulang haji lagi adalah karena menjadi muhrim dari istri, ibu, atau saudara perempuannya. Selain kedua hal diatas, menurut hemat saya, kurang tepat untuk mengulanginya lagi. Mengapa? Pertama, mereka yang ingin menyempurnakan haji karena ibadah pertama dianggap kurang sempurna.

Tentu saja ini menjadi pertanyaan, mengapa disaat ada kesempatan emas melaksanakan ibadah haji justru tidak dimaksimalkan. Banyak orang yang ingin berhaji, namun tidak punya kesempatan. Semestinya, sejak dari awal, dia memfokuskan diri untuk beribadah haji dengan sebaik-baiknya. Kedua, mereka yang berhaji lagi karena rindu dengan suasana Masjidil Haram saat musim haji. Hal ini bisa diatasi dengan cara umrah.

Ketiga, mereka yang berhaji lagi karena menjadi petugas atau pembimbing haji. Ini pun menurut penulis kurang tepat. Sebab, yang terjadi adalah kurang memandirikan jamaah. Bahkan, beberapa petugas atau pembimbing haji malah fokus dengan ibadahnya sendiri. Di saat ada jamaah yang sakit, mere ka tidak berada di tempat karena sedang beribadah juga. Disinilah, menurut hemat penulis, pentingnya memaksimalkan peran pembimbing haji dalam meng optimalkan dan meningkatkan kualitas pemahaman jamaah.

Keempat, mereka yang berhaji lagi karena alasan sunah. Dengan kondisi umat yang miskin dan terbelakang, tentu akan lebih manfaat untuk membantu fakir miskin, yatim piatu, atau disumbangkan ke lembaga pendidikan, seperti lembaga penghafalan Alquran. Semestinya, ada skala prioritas yang dikedepankan, yang wajib dulu atau sunah. Sekadar menjaga gengsi (prestige) atau demi kemaslahatan. Setiap tahun, jumlah jamaah haji Indonesia rata-rata mencapai 200 ribu orang. Bahkan, dalam lima tahun terakhir, jumlahnya mencapai 210 ribu. Pada 2010 ini, jamaah mencapai 221 ribu orang.

Dalam sebuah penelitian, dari sekitar 200 ribu orang jamaah haji yang berangkat setiap tahun, terdapat sekitar lima sampai sepuluh persen umat Islam yang sudah berhaji, atau sekitar sepuluh sampai 20 ribu orang. Andai kata, ada sekitar 5.000 orang yang mengulang haji setiap tahun, dan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 30 juta per jamaah, sedikitnya dana terkumpul sekitar Rp 150 miliar. Sebuah angka yang cukup besar untuk mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan, atau pemberdayaan masyarakat miskin dan menyekolahkan anakanak yang tidak mampu.

Rasul SAW pun sering memerintahkan umatnya untuk membantu fakir miskin dan menyantuni anak yatim. Barang siapa tidak mau memperhatikan urusan orang Muslim, ia tidak termasuk golongan kami. Lebih tegas lagi, Rasulullah mengatakan, Tidak termasuk orang yang beriman, orang yang tidur kekenyang an, sementara dia mengetahui ada tetangganya yang sedang kelaparan dan kekurangan. Apabila anak cucu Adam (manusia) telah meninggal dunia, terputuslah semua amalnya. Kecuali tiga perkara, yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.

Membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, dan memberikan biaya pendidikan bagi anak yang tidak mampu merupakan amal jariyah yang akan langgeng bagi pribadi Muslim yang ikhlas beramal kendati dirinya telah terbujur kaku di liang kubur. Karenanya, alangkah bijaknya, kita bisa meng infak kan dana haji yang kedua atau lebih itu untuk kepenting an umat yang membutuhkan. Wallahu A’lam.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement