REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memberi nafkah adalah kewajiban para ayah kepada keluarganya. Bekerja ataupun berniaga dengan cara halal dan tayib menjadi jihad bagi kepala keluarga karena setiap tetes keringatnya akan dibalas dengan pahala. Dalam Islam, mencari nafkah merupakan perintah agama.
"... dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf…" (QS al-Baqarah [2]: 233). Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan, maksud dari penggalan ayat ini adalah seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang makruf (ayat ini memang dalam konteks ibu menyusui).
Imam Ibnu Katsir melanjutkan, cara yang makruf, yakni sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri mereka masing-masing dengan tidak berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang. Sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang dimiliki oleh bapak si bayi.
Sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya, "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." (QS at-Talaq [65]: 7).
Sebagai pengelola urusan urusan rumah tangga, hendaknya para ibu memahami betul makna firman Allah SWT. Janganlah menyaksikan rumput tetangga yang lebih hijau kemudian merongrong suami untuk berboros-borosan dalam berbelanja. Sebaliknya, suami pun jangan terlampau kikir kepada istri dan keluarganya. Prinsip tawazun atau berada di tengah menjadi sikap yang bijak dalam hal ini.
"Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena akibatnya kamu menjadi tercela dan menyesal." (QS al-Isra [17]: 29).
Yusuf Qaradhawi dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer mengatakan, syarak tidak membatasi nafkah terhadap istri dengan kadar tertentu. Tidak ada nominal uang yang harus diberikan suami kepada istri. Hanya, kewajiban yang harus dipenuhi suami, yakni memenuhi kebutuhan dengan patut.
Kebutuhan sebuah keluarga berbeda antara satu masa dan yang lain. Berbeda pula dari satu kondisi dengan kondisi lainnya dan antara seorang dan orang lainnya. Qaradhawi pun menganalogikan kebutuhan hidup masyarakat desa berbeda dengan kota. Demikian pula kebutuhan masyarakat maju yang berbeda dengan masyarakat terbelakang. Sebuah keluarga yang diberikan nikmat berlebih pun tentu memiliki kebutuhan berbeda dengan keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam potongan ayat dalam surah At-Talaq di atas.
Adanya rezeki berapa pun itu jumlahnya apakah lebih, sedang atau kurang, bisa menjadi cukup jika disertai dengan rasa syukur kepada Zat Pemberi. Bukankah Allah SWT menjanjikan kepada hamba-Nya imbalan dari rasa syukur? "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu berfirman, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS Ibrahim [14]: 7)
Para istri pun harus memahami bahwa mencari nafkah disamakan dengan jihad fi sabilillah. Dikisahkan pada suatu pagi, Rasulullah SAW berjalan bersama para sahabat. Waktu itu, mereka menyaksikan seorang pemuda membelah kayu penuh semangat. Kemudian seorang sahabat berkata, "Seandainya semangat itu digunakan untuk berjihad di jalan Allah…"
Nabi yang mulia yang mendengar perkataan sahabat, lantas bersabda, "Apabila keluarnya dia dalam rangka mencari nafkah untuk anaknya yang masih kecil, itu juga termasuk jihad fi sabilillah. Jika keluarnya dalam rangka mencari nafkah untuk orang tuanya yang tua, maka itu juga jihad fi sabilillah. Kalaupun keluarnya dia dalam rangka mencari nafkah untuk diri sendiri demi menjaga harga diri, maka itu juga termasuk jihad fi sabilillah. Tetapi, bila keluarnya dia disertai riya dan hura-hura, maka itu merupakan usaha di jalan setan." (HR Thabrani). Wallahu a'lam.