REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dapat disimpulkan bahwa keadaan geopolitik Arab pada masa datangnya risalah Alquran adalah diapit dua adidaya, yakni Romawi yang berkiblat pada Nasrani dan Persia yang Majusi.
Romawi memiliki sekutu terdekat Arab, yakni Kerajaan Najasyi. Sementara itu, sekutu terdekatnya Persia adalah Yaman.
Dalam kondisi demikian, jejak-jejak ajaran Nabi Ibrahim dan prinsip agama yang hanif kurang menonjol karena tidak memegang kendali seutuhnya atas pengurusan Ka'bah. Penguasa Makkah justru condong pada paganisme.
Alhasil, Baitullah itu dijejali banyak berhala dan syariat haji sama sekali melenceng dari ketentuan yang digariskan sejak Nabi Ibrahim AS. Sebagai contoh, pada masa jahiliyah itu, orang-orang musyrik melakukan tawaf dengan bersorak-sorai dan bahkan dalam keadaan telanjang.
Meskipun risalah Alquran belum tiba (bahkan Nabi Muhammad SAW belum lahir), banyak sosok yang setia pada ajaran tauhid Nabi Ibrahim AS.
Di antara mereka adalah Qus bin Saidah al-Iyadi, As'ad Abu Karib al-Himyari, Ubaid bin al- Abrash al-Asadi, dan Kaab bin Luay bin Ghalib al-Quraisy--salah seorang kakek Rasulullah SAW. Mereka dan para pengikutnya menjalankan syariat Nabi Ibrahim AS.
Misalnya adalah berhaji dengan semestinya ke Baitullah, mandi ketika junub, berkhitan, dan berkurban hanya untuk Allah SWT. Mereka tidak mau memakan daging kurban yang diperuntukkan berhala.
Mereka juga gemar bersunyi diri (iktikaf) biasanya di gua-gua untuk menemukan kedamaian; menganggap haram memakan darah, daging babi, dan bangkai; serta melarang menguburkan anak perempuan (atau siapa pun) hidup-hidup.
Banyak di antara para pengikut tauhid millah Ibrahim yang bisa membaca dan menulis. Bahkan, ada pula yang pakar kitabullah (ahlul kitab), walaupun tidak sampai memeluk Yahudi atau Nasrani, karena dinilainya kurang mampu melegakan dahaga batin mereka yang meyakini tauhid murni.
Kelak, Alquran sendiri menegaskan bahwa Nabi Ibrahim AS bukanlah dari golongan Yahudi maupun Nasrani. Lihat, misalnya, surah Ali Imran ayat ke-65 hingga 68.
Allah SWT melalui firman-Nya itu menyangkal klaim-klaim tak mendasar dari pemuka Yahudi dan Nasrani yang ingin agar sang Khalilullah itu diakui sebagai bagian dari kubu masing-masing. Menurut tafsir Ibnu Katsir, dalam ayat tersebut seakan-akan Allah SWT menyindir dua kaum tersebut: "Bagaimana mungkin Ibrahim memeluk agama kalian, sedangkan syariat yang diberlakukan kepada kalian terpaut jangka waktu yang sangat panjang setelah Ibrahim?"
Maka dari itu, jelaslah bahwa Nabi Ibrahim AS berada di jalan yang lurus, yakni tauhid dengan semurnimurninya keyakinan bahwa hanya Allah yang pantas disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya.