REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh menyampaikan sejumlah evaluasi menyikapi pelaksanaan tes online (CAT) untuk calon mahasiswa Indonesia ke Mesir, Sudan, dan Maroko oleh Kemenag RI di UIN Ar-Raniry pada Ahad (16/4).
Ketua IKAT Aceh, Muhammad Fadhil Rahmi, mengatakan evaluasi yang pertama, IKAT Aceh melihat membatasi jumlah mahasiswa yang lulus 750 orang saja pada 2019. Dari 750 tersebut, yang beasiswa 150 dan nonbeasiswa 600.
Sementara Universitas Al-Azhar, Mesir, kata dia, tidak pernah membatasi jumlah mahasiswa pada setiap tahunnya. Kebijakan Kemenag ini telah menutup kesempatan bagi putra putri terbaik Indonesia yang ingin menimba ilmu di Universitas Islam terbesar tersebut.
“Kita menerima adanya seleksi untuk menjamin kualitas generasi Aceh yang dikirim keluar negeri. Namun sungguh tidak berdasar kalau harus dibatasi bagi yang non-beasiswa. Mengingat mereka studi di Mesir dengan biayanya sendiri. Tidak menggunakan uang dari Kemenag RI,” kata dia dalam keterangannya kepada Republika.co.id di Jakarta, Senin (17/6).
Dia menjelaskan, evaluasi kedua, wawancara tatap muka dilaksanakan di Jakarta. Ini merupakan kebijakan yang tidak logis dengan memperhatikan luas geografis Negara Republik Indonesia. Akan sangat mahal dan berat biayanya bagi warga negara Indoesia yang berada di ujung Barat dan ujung Timur Indonesia untuk datang ke Jakarta.
“Sementara mereka belum dipastikan akan lulus, dan bisa kuliah di Universitas Al-Azhar. Kebijakan ini merupakan praktik sentralistik yang kembali dijalankan,” ujar dia.
Dia mengklaim banyak kebijakan Kemenag RI dalam hal seleksi calon mahasiswa ke Timur Tengah sepertinya tanpa ada koordinasi dengan Organisasi Internsional Alumni Al-Azhar (OIAA) kantor Indonesia. Dimana seharusnya OIAA menjadi fasilitaor utama, sekaligus menjadi mitra Kemenang RI dalam dalam pengiriman putra putri Indonesia untuk belajar di Al-Azhar.
Fadhil juga mengingatkan status Aceh sebagai satu-satunya propinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam sepantasnya Aceh mendapat kuota khusus dari Kemenag RI agar lebih banyak putra-putri Aceh yang berkesempatan belajar Syariat Islam langsung pada sumbernya di Timur Tengah. Baik itu kuota beasiswa dan non-beasiswa.
Karena itu, dia meminta Kemenag membuka peluang sebesar-besarnya kepada generasi muda Indonesia untuk bisa menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar, dengaan tidak membatasi jumlah bagi non-beasiswa, tetapi dengan batas nilai minimun yang memenuhi standar. “Dengan harapan kuantitas meningkat dan kualitas yang baik. Mengingat mereka pergi kuliah dengan uang atau biaya sendiri,” ujar dia.
Dia meminta Kemenag juga membuka tempat tes dengan sistem wilayah sebagaimana telah berjalan pada beberapa tahun terakhir.