REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ibnu Khaldun merupakan keturunan Arab Hadramaut dari Yaman. Kakek dan orang tuanya termasuk pelarian politik dari Andalusia yang kemudian menetap di Tunis. Mereka mendapatkan kedudukan terhormat di tengah masyarakat Afrika Utara dan Andalusia.
Ceritanya bermula sejak pasukan Muslim berhasil menaklukkan Semenanjung Iberia pada abad kedelapan. Keluarga Ibnu Khaldun menetap di Seville. Beberapa dari mereka menda patkan posisi yang strategis di birokrasi pemerintahan. Namun, situasi mulai berubah ketika dominasi kerajaan Kristen dari utara merangsek keselatan, termasuk Seville.
Keluarga Ibnu Khaldun terpaksa menyeberang ke Afrika Utara untuk menyelamatkan diri. Tujuannya adalah Tunis untuk mendapatkan suaka politik dari Dinasti Hafsids. Tidak menunggu waktu lama, kakek buyut Ibnu Khaldun, Abu Bakar Muhammad, memperoleh posisi baru di lingkungan istana setempat.
Namun, kemelut politik mulai menjalar ke wilayah Afrika Utara. Dinasti Hafsids pun runtuh. Abu Bakar terseret intrik politik, sehingga dipenjara dan terbunuh. Nasib yang lebih baik dialami kedua anaknya, Muhammad dan Khaldun. Begitu revolusi pecah, Muhammad berhasil melarikan diri keluar dari Tunis.
Sebelumnya, ia telah bertekad hengkang dari dunia politik, hingga akhirnya wafat pada 1337. Adapun Khaldun lebih teguh daripada saudaranya itu. Ia tidak menjauhi dunia politik tetapi juga tidak terlibat penuh di dalamnya.
Alih-alih, Khaldun lebih sebagai pengamat jatuh bangunnya rezim politik. Menurut sebuah riwayat, hal ini lantaran Khaldun mengapresiasi baik kekuasaan maupun ilmu pengetahuan sebagai legitimasi atas masyarakat. Daya observasi inilah yang diwariskan kepada putranya, Ibnu Khaldun.
Menurut sejarawan, Muhsin Mahdi, Ibnu Khaldun sejak belia tumbuh dalam lingkungan yang amat mendukung perkembangan intelektualnya. Itu meliputi aspek-aspek materil dan immateril, khususnya perhatian dan nasihat-nasihat dari sang ayah.
Selagi masih di Tunis, Ibnu Khaldun belajar sastra, logika, filsafat, tata bahasa Arab, dan retorika dari guru-guru terkemuka. Sebelum prahara politik pecah, Tunis merupakan salah satu pusat peradaban dunia Islam. Kota ini memiliki daya tarik bagi ilmuwan-ilmuwan yang mencari keamanan atau sekadar menjalani pengembaraan intelektual.
Saat Ibnu Khaldun berusia 17 tahun, Afrika Utara dan sebagian besar wilayah Eropa terjangkit wabah pes. Akibatnya, banyak warga yang harus menjemput maut. Di antaranya adalah orang tua dan guru-guru Ibnu Khaldun. Peristiwa ini membekas kesedihan yang amat dalam pada diri Ibnu Khaldun. Demi menyelamatkan diri, ia kemudian hijrah ke Fez, Maroko.
Kala itu, Fez merupakan pusat lainnya dari peradaban Islam di Barat. Atas saran Ibnu Tafrakin, Ibnu Khaldun menerima posisi di birokrasi pemerintahan. Kapasitas keilmuan Ibnu Khaldun yang cemerlang mulai diakui masyarakat luas bukan hanya di Fez, melainkan negeri-negeri Muslim di wilayah Andalusia hingga Afrika Utara.
Hal ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi Ibnu Khaldun. Sebab, dengan demikian ia juga turut menaikkan kembali nama baik keluarganya yang memang sudah masyhur di Seville, Andalusia.