Jumat 14 Jun 2019 15:45 WIB

Secukupnya Mencintai Harta

Harta dalam bahasa Arab disebut dengan mal.

Harta atau uang (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Harta atau uang (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harta dalam bahasa Arab disebut dengan mal. Maka zakat untuk harta benda disebut zakat mal. Kata mal satu akar dengan muyul yang bermakna kecenderungan. Maka tak heran jika jiwa manusia tabiatnya cenderung kepada harta. Sifat tertarik kepada harta sejatinya alami. Sesuatu yang lumrah. Hati kita memang dasarnya mencintai harta.

Kecenderungan hati terhadap harta juga digambarkan oleh Allah SWT, "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik." (QS Ali Imran [3]: 14)

Ketertarikan orang terhadap harta akan memunculkan beberapa sikap. Kita tak perlu heran jika orang-orang akan mendekat kepada mereka yang memiliki harta melimpah. Sementara dapat kita saksikan mereka yang tak punya sepeser harta akan cenderung dijauhi orang-orang.

Kita mungkin menangis saat kehilangan harta. Sebaliknya, kita akan melonjak riang begitu memperoleh harta.Sejatinya kita harus menelisik kegembiraan kita kala mendapat harta. Kita juga harus memeriksa kesedihan kita saat berpisah dengan harta.Kita seharusnya bertanya apakah kegembiraan kita kala mendapatkan harta disebabkan hanya pada jumlahnya yang bertambah? Atau kita gembira karena kita memperoleh harta tersebut dengan jalan yang benar?

Apakah harta tersebut adalah harta halal? atau justru berasal dari harta yang haram? jika kita menyadari kita memperoleh tambahan harta dari jalan yang tidak benar lalu kita masih tetap bergembira, kita harus bertanya kita bergembira untuk apa?

Kita justru harus sedih sebab bertambahnya harta akibat diperoleh dari jalan yang Allah murkai. Jika kita amat gembira karena kita mendapat jutaan harta karena korupsi, maka sifat kecenderungan terhadap yang harta yang alami sudah bergeser. Berubah menjadi kecenderungan pada hal-hal yang salah.

Begitu pula saat kita kehilangan harta. Jika berkurangnya harta karena kewajiban-kewajiban seperti zakat atau melunasi utang, seharusnya kita bersyukur. Jika berkurangnya harta bersebab amaliyah sunah seperti infak, wakaf, menolong sesama Muslim maka justru kita harus bahagia. Sejatinya yang habis dibelanjakan di jalan Allah tak benar-benar habis.

Justru harta tersebut masih utuh dan abadi. Sebabnya, harta yang dibelanjakan di jalan Allah akan menjadi saksi perbuatan amal kita di akhirat. Sementara harta yang kita tahan sejatinya itulah yang habis. Karena tidak akan menjadi pemberat amal saat pengadilan Allah digelar di Hari Akhir.

Ketika Rasulullah SAW bertanya kepada Aisyah tentang seekor kambing yang disembelih, apakah ada yang tersisa darinya, Aisyah menjawab, "Tidak ada yang tersisa kecuali bagian bahunya." Nabi Saw bersabda, "Tersisa seluruhnya kecuali bagian bahunya." (HR. Muslim)

Maknanya yang disedekahkan justru adalah yang masih utuh. Sementara yang masih tersisa di rumah itu yang bakal dihabiskan dan tak bersisa lagi. 

Sebagai pribadi kita harus mengerti apa sebenarnya hakikat harta. Harta ialah sarana. Jika kita mencintainya, maka gunakan ia sebagai sarana kebaikan. Harta di tangan orang baik maka peruntukannya akan mendatangkan manfaat yang amat besar. Saad bin Abi Waqash pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bertakwa, kaya dan menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah SWT. " (HR Muslim)

Menjadi kaya tak ada larangan. Namun menggunakan kekayaan dalam dalam kebaikan adalah sebuah tuntunan. Semakin kaya semakin besar kewajiban mengeluarkan zakat. Artinya semakin banyak orang yang bisa terbantu dari kekayaannya.

Jika tak memiliki harta, maka sikap zuhud amat penting untuk mengendalikan kecenderungan yang berlebihan terhadap harta. Kita ini sejatinya hanyalah pengembara. Kita mengumpulkan bekal yang secukupnya untuk menempuh perjalanan pulang ke kampung akhirat. Abdullah bin Umar pernah berkisah soal ini. Suatu ketika Rasulullah memegang pundaknya lalu berkata, "Di dunia ini jadilah seperti orang asing atau yang tengah lewat di jalanan."

Ibnu Umar menerangkan maksud Rasulullah, "Jika memasuki malam maka jangan menunggu datangnya pagi. Jika masuk pagi jangan menunggu datangnya malam. Carilah bekal di masa sehatmu untuk masa sakitmu, di masa hidupmu sesuah matimu." (HR Bukhari)

Sebagai orang yang sadar bahwa ia sedang dalam perjalanan, maka ia mengumpulkan bekal secukupnya agar selamat sampai tujuan. Ia tidak membebani diri dengan mengangkut bekal yang tak sanggup ia bawa. Ia bersihkan betul bekal-bekal tersebut agar yang ia bawa adalah bekal yang benar-benar bermanfaat.

Begitu pula dengan harta. Ia pastikan betul harta yang ia miliki adalah harta yang bersih. Sebab kelak, seseorang akan ditanya daripada ia mendapatkan harta dan untuk apa ia membelanjakannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement