REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekelompok kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah. Isu pemilihan calon pemegang urusan kepemimpinan sepeninggal Nabi Muhammad SAW beredar di kalangan mereka. Ketika itu Rasulullah wafat pada 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah. Sebuah musibah yang mengguncangkan hati dan iman kaum Muslim.
Ibnu Rajab mengisahkan, sebagian orang terkejut dan tidak bisa berpikir jernih. Sebagian yang lain terduduk lemas tak dapat berdiri, sebagian lagi tak mampu berkata-kata, sementara beberapa mengingkari kematian Rasul.
Di tengah mendung yang bergelayut itu, kaum Muslim dihadapkan pada satu perkara yang harus mereka putuskan; kepemimpinan. Orang-orang Anshar berkumpul di sekitar pemimpin kaum Khazraj, Sa'ad bin Ubadah. Sementara, kaum Muhajirin berkumpul bersama Abu Bakar untuk keperluan yang sama.
Menurut Ali Muhammad Ash Shallabi dalam Biografi Abu Bakar Ash Shiddiq, kabar berkumpulnya kaum Anshar itu sampai kepada kaum Muhajirin. Sebagian kemudian mengajak yang lain menemui kaum Anshar. Sebab, bagaimanapun juga dalam hal ini mereka memiliki bagian.
Umar bin Khattab meriwayatkan peristiwa ini. Akhirnya, kaum Muhajirin berangkat untuk menemui kaum Anshar. Sesampainya mereka di sana, seorang orator dari kaum Anshar berdiri.
Ia mengucapkan syahadat dan pujian untuk Allah, kemudian berkata, “Kita semua adalah para penolong Allah dan pasukan pembela agama Islam, sedangkan kalian—orang-orang Muhajirin—hanyalah bagian kecil dari kita. Sesungguhnya ada beberapa orang dari kalangan kalian yang diam-diam hendak menjauhkan kami dari hak kami dan menyingkirkan kami dari urusan kepemimpinan.”
Ketika orator itu diam, Umar hendak berbicara. Ia telah mempersiapkan semua kata-kata yang menurutnya tepat diutarakan. Tapi, Abu Bakar menahannya. Umar pun diam, bagaimanapun juga, ia tahu Abu Bakar lebih bijaksana dan sabar.