Sabtu 08 Jun 2019 18:08 WIB

Berbagi Hadiah di Idul Fitri

Niat memberikan hadiah hendaknya bukan untuk tujuan duniawi semata.

Idul Fitri Ilustrasi
Foto: Republika/Wihdan
Idul Fitri Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Salah satunya ialah saling berbagi hadiah. Baik antarkeluarga, kerabat, kolega, atau kepada mereka yang tidak mampu. Pemberian hadiah ternyata memiliki makna mendalam. Nilai hadiah tidak hanya diukur dengan berapa rupiah harga barang yang diberikan, tetapi ketulusan di balik hadiah itu sangatlah berharga. Apa dan bagaimana agar hadiah lebih bermakna?

Syekh Abdul Aziz bin Fathi as Sayyid Nada dalam “Ensiklopedi Adab Islam menurut Alquran dan Sunnah”, menjelaskan beberapa hal yang penting diperhatikan kala hendak berbagi hadiah. Perkara mendasar yang ia garis bawahi ialah niat.

Niat memberikan hadiah hendaknya bukan untuk tujuan duniawi semata. Niatkan hadiah untuk mempererat hubungan, mendapat kasih sayang, dan menghilangkan permusuhan. Hadiah diyakini bisa menghilangkan riakriak kebencian yang bersemai di hati. “Saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai,” demikian hadis riwayat Bukhari.

Di antara nasehat utama sahabat Anas bin Malik RA kepada anak-anaknya ialah saling bertukar hadiah. Menurut sosok yang pernah mengabdi sebagai pembantu Rasulullah itu, kebiasaan saling memberi hadiah dapat membantu menyingkirkan kedengkian antarsaudara. Karenanya, disarankan agar hadiah-hadiah tersebut diprioritaskan untuk mereka yang memiliki hubungan darah dan golongan terdekat, seperti tetangga. Syekh Nada menambahkan, tidak sembarang hadiah laik diterima. Beberapa jenis hadiah bisa mengandung unsur syubhat, bahkan haram.

Hadiah yang rentan dengan elemen tersebut biasanya banyak diberikan kepada para penyelenggara pemerintahan, seperti pejabat tinggi ne gara atau pegawai. Kategori seperti ini, kerap diistilahkan dengan gratifikasi. Perbuatan seperti ini mendapat peringatan keras dari Rasululullah. Nabi SAW pernah menegur salah se orang pejabat pembagi sedekah yang diserahkan oleh rakyat atau masya rakat.

Kemudian, pejabat yang bersangkutan menyi sihkan jatahnya se ca ra tersendiri. Tindakan ini dikecam dan diancam di akhirat. Kelak, hadiah-hadiah itu akan dibawa di atas tengkuknya. Tidak selamanya maksud di balik pemberian hadiah akan dicerna dengan baik oleh penerima. Di sisi lain, sikap dari pihak kedua yang menerima hadiah, terkadang malah dapat memicu rasa sakit hati.

Ini perlu diwaspadai dan diantisipasi dengan baik. Misalnya, dengan tidak meremehkan apa dan berapa pun kadar hadiah yang diberikan. Rasulullah pernah berpesan, agar para wanita tidak meremehkan pemberiaan sese orang, sekalipun berupa kikil kambing.

Apapun hadiahnya, maka tidak baik menolaknya. Selama maksud pemberiannya bermuatan positif dan baik, maka hadiah adalah bentuk tanda cinta dan penghormatan orang yang memberi. Bila disertai dengan saling membalas pemberian tersebut-selama mampu-akan lebih utama dan menyempurnakan sunah.

Syekh Nada mengemukakan agar pandai-pandai memilih hadiah yang akan diberikan. Objek penerima hadiah memiliki kondisi dan kebutuhan yang berbeda-beda. Bila rupa dan jenis hadiah yang diserahkan sesuai dengan keinginannya, maka akan lebih berkesan dan bermanfaat.

Hal terpenting yang perlu dicatat dalam kegiatan saling berbagi hadiah adalah menghindari sikap mengungkit- ungkit pemberian yang telah diberikan. Tindakan tercela itu bisa membuka celah kedengkian baru di hati penerima. Di saat bersamaan, perbuatan tersebut dapat menghapus pahala bersedekah dengan hadiah. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. al-Baqarah [2] : 264).

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement