Rabu 05 Jun 2019 05:00 WIB

Nuansa Sufistik dalam Kehidupan Beragama Muslim Komoro

Kehidupan beragama Muslim Komoro kental nuansa sufistik.

Masjid di Komoro
Foto: Wikipedia
Masjid di Komoro

REPUBLIKA.CO.ID, Komoro adalah sebuah negara kepulauan di Samudra Hindia. Estimasi Departemen Luar Negeri AS pada  2006 menyebutkan sekitar 98 persen populasi negara Arab terkecil kedua setelah Bahrain ini adalah Muslim. Sisanya beragama Kristen, umumnya Katolik Roma. Di Komoro ada dua kutub, yaitu Katolik Roma dan Protestan. 

Islam telah lama memainkan peran sentral dalam kehidupan warga Komoro. Hampir semua Muslim di Komoro bermazhab Sunni Syafii. Sebagian besar Muslim Komoro berasal dari etnis Arab-Swahili atau Persia, tetapi ada juga orang-orang dari India, sebagian besar keturunan Gujarati.

Baca Juga

Komitmen Bangsa Komoro menjalankan syariat agama tak diragukan. Bahkan, selama masa penjajahan, Prancis tidak berusaha menggantikan praktik Islam yang sudah berjalan di Komoro. Prancis  begitu berhati-hati  menghormati preseden syariah yang berlaku dalam corak Mazhab Syafii.

Di Komoro misalnya, kita akan mendapati hukum keluarga mewajibkan warganya belajar bahasa Arab, melakukan haji, dan mempertahankan hubungan dengan masyarakat Muslim lainnya, seperti Kilwa, Zanzibar, dan Hadramaut.

Kendati dikenal taak menjalankan agama, warga Komoro tetap tidak meninggalkan budaya leluhur. Mereka sering berkonsultasi dengan orang-orang tertentu menentukan tanggal pernikahan, melakukan pengobatan, dan mempersiapkan ritual lainnya yang berisi ayat-ayat Alquran.

Ratusan masjid dan madrasah tersebar di seluruh pulau-pulau. Pada 1998, Masjid Agung baru yang dibiayai oleh Emir Sharjah, diresmikan di Moroni.  Hampir semua anak-anak menghadiri sekolah Alquran selama dua atau tiga tahun. Sekolah biasanya dimulai sekitar usia lima tahun.  Di sana mereka belajar dasar-dasar Islam dan linguistik Arab.

Di Komoro, makam para wali dan pendiri tarekat ramai diziarahi pada acara-acara keagamaan. Pemerintah Komoro menetapkan hari besar umat Islam sebagai libur nasional. Seperti lebaran, Muharram, Asyura, kelahiran Rasulullah SAW, Isra’ Mi’raj, dan lainnya. 

Dalam perayaan Maulid Nabi SAW,  puncak acara diperingati secara meriah. Sejumlah ulama hadir memimpin doa dan menyampaikan ceramah. Para peremuan tampak mengenakan chirumani, kain khas Komoro. Mereka turut hadir menyemarakkan syiar Islam tersebut.   

Geliat Islam di Komoro memang melalui fase-fase yang cukup dinamis. Pergulatan antara kalangan kiri dan kaum kanan saling berebut panggung demi menguasai kekuasaan. Iklim ekonomi dan politik Komoro menjadi tidak kondusif sejak kemerdekaan pada 1975. 

Keadaan ini merugikan perkembangan hak asasi manusia dan keadilan sosial. Di satu sisi, faksi kanan berusaha memobilisasi dukungan agama  memenangkan kekuasaan politik dan berjanji menghapus kesenjangan sosial.  

Di sisi lain, kubu intelektual kiri yang dibesarkan Eropa bersaing dengan pendukung pandangan Islam yang telah masuk politik lain untuk membenarkan dan menantang pemerintah. Mereka mengadopsi ideologi politik Barat dan sekularisme. Islamisme dan Wahhabisme juga semakin berkembang setelah kembalinya mahasiswa  dari studi Islam di luar negeri.

Menanggapi ketidakadilan yang dirasakan dan kekacauan dalam pemerintahan Komoro, para tokoh Islam  berharap menciptakan sebuah republik Islam di Komoro.

 

 

 

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement