REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibn Khaldun berpendapat bahwa perekonomian akan tumbuh ketika kebijakan pemerintah mendukung kegiatan ekonomi. Karena itu, harus diingat bahwa ketika pemerintah memungut pajak adalah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Ada lagi syarat yang diberikan Ibn Khaldun, bahwa pajak hanya dipungut ketika pemerintah tidak menghambat produksi dan perdagangan. Pajak yang diterapkan haruslah jenis yang disahkan oleh hukum Tuhan mencakup zakat, kharaj (pajak tanah), dan jizyah (pajak dari non-Muslim) dengan jumlah tidak terlalu besar.
Ketika perekonomian negara semakin membaik, biasanya pemerintah akan kehilangan kesederhanaan dan birokrasi men jadi lebih kaku. Godaan pola hidup mewah akan mendorong penguasa menaikkan pajak agar pendapatan negara bertambah. Bea pada produk pertanian justru akan menjadi disinsentif bagi pe tani untuk bekerja lebih produktif. Akibat penurunan produksi pertanian, pen da patan negara dari pajak pun ber kurang.
Pungutan pajak yang berlebihan bisa terjadi ketika tuntutan belanja birokrasi dan militer membengkak. Semakin besar belanja birokrasi dan militer, semakin besar pula pajak harus dipungut dari ma syarakat yang justru akan menjadi beban bagi perekonomian.
Dia juga menilai, kebijakan menaikkan surplus permintaan dengan cara memperbesar belanja birokrasi dan tentara merupakan langkah keliru. Bagi Ibn Khaldun, pemerintah yang baik mempunyai birokrasi dan tentara dalam jumlah minimum yang cukup untuk menjamin terciptanya ke ter aturan dan keamanan, sehingga pungutan pajak untuk membiayai pemerintahan pun bisa minimal.
Kini, teori ekonomi Ibn Khaldun tentang kecenderungannya ke arah privatisasi mulai dipahami negara-negara berkembang meskipun secara pelan-pelan. Sedangkan di negara-negara maju, teori Ibn Khaldun diaplikasikan dengan mengurangi belanja militer untuk dialih kan pada investasi di bidang pendidikan dan teknologi (riset) guna meningkatkan kinerja ekonomi dan daya saing dalam perdagangan internasional.