REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Oni Sahroni
Dalam Alquran surah asy-Syams ayat 7-10, Allah SWT berfirman. Artinya, "Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaan-Nya) (7) Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (8) Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu (9) Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10)."
Ayat-ayat di atas telah memberikan tuntunan, setiap orang memiliki potensi untuk berbuat fasik (maksiat). Demikian pula, tiap insan berpotensi tertarik berbuat amal saleh.
Hanya orang-orang yang menyucikan diri itu yang bisa melakukan kebaikan dan amal saleh serta mengendalikan diri tidak bermaksiat. Tuntunan Ilahi (taujihilahi) di atas menyiratkan, individu dan pribadi adalah sumber masalah.
Ramadhan dapat menjadi momentum yang tepat untuk menguatkan faktor pengendalian diri pada setiap pribadi Muslim.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 183. Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Firman-Nya itu menegaskan, tujuan disyariatkannya puasa ialah menumbuhkan ketakwaan pada diri setiap Muslim. Dengan takwa itu, seseorang dapat kian khusyuk beribadah mengharap ridha-Nya.
Ketakwaan yang dimaksud dalam ayat ini juga berarti kemampuan melaksanakan perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya. Dengan kata lain, kemampuan mengendalikan diri untuk tidak melakukan dosa dan maksiat. Ketakwaan dalam arti itu sejalan dengan makna menyucikan diri, sebagaimana diisyaratkan dalam surah asy-Syams ayat 7-10 di atas.
Jika setiap pribadi Muslim telah berpuasa dengan benar: mengikuti syarat, rukun, dan adab-adab berpuasa, ia telah berikhtiar meraih ketakwaan.
Dan pada saat yang sama telah mengikis masalah yang timbul pada diri, keluarga, masyarakat, dan bangsanya. Alhamdulillah.