REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Hasyim Muzadi (1944-2017)
Semua ibadah dalam Islam, mahdhah dan ghairu mahdhah, memiliki pesan dan tujuan yang jelas. Ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, misalnya, selain mengandung nilai spiritual, pasti di dalamnya terdapat nilai sosial.
Ibadah akan memudahkan manusia, para hamba Allah, untuk dapat menjadi makhluk sebagaimana tujuan penciptaannya. Para makhluk diciptakan agar dapat menyembah dan mengabdi kepada Allah SWT sesuai syariat.
Jika manusia dapat mengabdikan diri hanya kepada Allah, ia akan sampai pada maqam tertinggi sebagai orang yang bertakwa. Manusia bertakwa dalam konteks ini bermakna makhluk yang telah berhasil mendekati Sang Khalik.
Ia mengambil, menyerap, serta menghayati sifat-sifat Allah. Jika Allah Maha Penyayang, ia akan meniru sifat Allah dalam menyayangi. Karena, Allah Maha Memberi, manusia takwa akan berikhtiar agar bisa memberi.
Dalam kaitan ini, shaum atau puasa memiliki makna sangat mendalam. Pada beberapa ayat di dalam Alquran, berkali-kali Allah menyebut istilah shiyam. Bukan shaum.
Memang, kedua istilah itu berasal dari akar kata sama, shooma—yashuumu—shiyaaman dan shauman. Namun, beberapa ulama memberi perspektif berbeda. Shiyam dimaknai kegiatan berpuasa pada umumnya. Berpuasa dalam perspektif ilmu fikih; ada rukun, syarat sah, dan syarat wajibnya.
Namun, beberapa ulama juga meletakkan makna shaum dalam perspektif yang lebih mendalam, sublim, dan melampaui makna fiqhiyah-nya. Kata shaum dalam Alquran hanya disebut sekali. Shaum lebih dekat pada makna hakikat ketimbang syariat.
Kata shaum dalam Alquran disebut ketika Allah menjelaskan perihal seorang perempuan suci yang melahirkan Nabi Isa AS. Seorang ibu yang berjanji kepada Allah untuk melakukan shaum/puasa.
"Aku sudah berjanji kepada Allah Yang Mahakasih untuk melakukan shaum." (QS 19:26).
Inilah bentuk puasa yang bisa memanusiakan manusia. Puasa syariat sekaligus hakikat. Puasa fisik sekaligus nonfisik. Puasa yang bergerak jauh ke atas menuju keridhaan Allah. Menahan berbicara kecuali yang penting saja dan sesuai ajaran Allah. Mendengar hanya yang menjadi kewajiban kita untuk mendengarnya. Melihat hanya yang menjadi haknya.
Agar puasa syariat bisa bergerak lebih jauh menuju puasa tarekat dan hakikat, kita sudah harus belajar tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan untuk tidak berbicara, mendengar, melihat kecuali yang dihalalkan oleh agama.
Jika kita mampu melakukan puasa dalam arti shaum Siti Maryam, ibunda Nabi Isa AS, insya Allah kita akan mencapai takwa sebagaimana dijanjikan oleh Allah. Inilah pesan spiritual dalam ibadah puasa.
Selain pesan spiritual, puasa dalam makna ini juga mengandung pesan sosial yang tinggi. Sering kita temukan ibadah dinilai cacat dan dianggap tertolak karena pesan sosialnya tak diindahkan.
"Maka, celakah orang-orang yang shalat; yang lalai dalam shalatnya yang hanya pamer; yang tidak memberi pertolongan." (QS 107: 5-7). Semoga melalui puasa Ramadhan, kita belajar memanusiakan manusia. Wallahua'lam bish shawab.