REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abdullah bin Umar mengisahkan pengalamannya. Ia mendengar Rasulullah menyatakan agar umatnya tak melarang istri-istrinya pergi ke masjid jika mereka meminta izin ke masjid. Tiba-tiba, anak Abdullah bin Umar, Bilal, berseru, “Demi Allah saya akan melarang mereka.”
Abdullah berpaling kepada anaknya itu dan memakinya. “Aku sampaikan kepadamu bahwa hadis itu berasal dari Rasulullah,” katanya. Ia menyayangkan Bilal yang malah menyatakan akan melarang istri yang meminta izin untuk pergi ke masjid. Hadis dari Abdullah bin Umar itu, diriwayatkan Imam Muslim.
Syekh Muhammad al-Ghazali menjelaskan perempuan dan laki-laki berkedudukan sama dalam keterikatan mereka pada masjid. Tak semestinya perempuan dilarang untuk beribadah dan shalat di masjid. Meski ia mengutarakan pula adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang perlu dijelaskan.
Tanggung jawab utama perempuan adalah mengatur rumah tangganya. Pekerjaan ini wajib baginya sedangkan shalat berjamaah di masjid bersifat sunah. “Perempuan tak bisa mengabaikan kepentingan anak-anak dan suaminya,” katanya seperti terungkap dalam bukunya, Mulai dari Rumah.
Allah SWT, kata dia, mendahulukan pemeliharaan keluarga atas syiar shalat berjamaah. Al-Ghazali melanjutkan, jika perempuan telah melaksanakan kewajiban atas rumah tangganya, ia berhak menunaikan shalat jamaah di masjid dan mencari pahala. “Suami tak boleh melarangnya pergi ke masjid,” ujarnya.
Ia mengacu pada hadis Rasulullah yang menegaskan suami tak mela rang hamba-hamba perempuan Allah untuk pergi ke masjid. Menurut dia, keter lambatan kaum perempuan datang ke masjid karena tanggung jawab rumah tangga yang ditunaikannya, menjadikan mereka berhak atas pahala shalat jamaah.
Hak itu pun berlaku bagi mereka yang tak hadir dalam shalat jamaah di masjid. Al-Ghazali mengatakan, halangan perempuan untuk shalat jamaah membuat mereka berhak mendapatkan pahala setara orang-orang yang menghadirinya. Ia mengatakan, sejumlah ahli telah keliru dengan menyatakan shalat berjamaah di masjid hanya untuk laki-laki.
Mereka menganggap tetap tinggal di rumah jauh lebih baik bagi perempuan daripada pergi ke masjid. Menurut al-Ghazali, mereka menukil riwayat yang lemah dan tertolak yang membuatnya menyembunyikan fakta pada zaman Nabi Muhammad SAW dan khulafaur rasyidin mengenai sesaknya masjid oleh perempuan dan barisan mereka rapi.
Ulama asal Mesir ini memperhatikan masalah lainnya, yaitu mengenai wewangian yang digunakan perempuan ke masjid. Ia mengungkapkan hadis dari Zainab. “Apabila salah seorang dari kalian mendatangi masjid, janganlah dia mengenakan wewangian,” demikian ucapan Rasulullah.
Dalam konteks ini, al-Ghazali menuturkan bahwa wewangian dibagi menjadi dua. Jenis pertama adalah wewangian suci dan berguna membunuh kumah dan menghilangkan bau tidak sedap. “Jenis ini tak apa-apa jika dipakai,” ka ta nya. Jenis kedua adalah yang merang sang dan menarik perhatian. Ini dilarang.
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah melalui bukunya, Fiqih Wanita, menyampaikan pandangan yang sama, perempuan boleh pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Tapi, mereka diharapkan menghindari semua hal yang dapat memancing syahwat laki-laki dan menimbulkan fitnah. Baik dalam bentuk perhiasan maupun parfum.
Ia memaparkan hadis seperti yang dijabarkan oleh Syekh Muhammad al-Ghazali. Salah satunya, mengenai seruan Rasulullah agar umat Islam tak melarang kaum perempuannya pergi ke masjid. Tapi, ia berpandangan perempuan lebih baik shalat di rumah dengan berdasar pada pernyataan Rasul dari hadis yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud.
Haya binti Mubarok al-Barik, dalam bukunya Ensiklopedi Wanita Muslimah, pun menilai perempuan boleh ke masjid. Berdasarkan kesepakatan ulama, lanjut dia, saat perempuan ke masjid sebaiknya tak memakai wewa ngian, perhiasan, gelang kaki yang berbunyi, tidak berpakaian mencolok, dan tidak bercampur-baur dengan laki-laki.
Selain itu, jelas Haya, perempuan itu aman dari fitnah dan bahaya yang mungkin muncul dalam perjalanan pergi dan pulang ke masjid.