REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nurul H Maarif
Suatu ketika, Rasulullah SAW dengan para sahabatnya hendak memasak kambing. Sebagai arahan, beliau shalallahu 'alaihi wasallam dengan cekatan melimpahkan pembagian tugas kerja. Sebagian sahabat menawarkan diri untuk mengerjakan tugas-tugas itu.
Ada yang menawarkan diri untuk menjadi penyembelih kambing dan yang lain siap menguliti. Ada juga yang bersedia memasaknya, sedangkan lainnya lagi siap mengambil air, menyiapkan tungku, dan sebagainya. “Saya sendiri akan mencari dan mengumpulkan kayu bakarnya,” ujar beliau.
Mendengar pernyataan ini, sontak saja para sahabatnya terkejut. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah SAW, tidakkah engkau lebih baik duduk-duduk saja dan kami yang mencari kayu bakarnya?” sergah salah seorang sahabat.
Para sahabat ingin tugas-tugas lapangan biarlah dikerjakan mereka sehingga Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tak perlu repot-repot turut melakukannya. Barangkali dalam bayangan mereka, komando tidak seharusnya terlibat kerja lapangan.
Namun, tampaknya hal ini tidak berlaku bagi Muhammad SAW. “Saya tahu kalian bisa menyelesaikan pekerjaan ini, tapi saya tidak suka diistimewakan. Sesungguhnya Allah SWT tidak suka melihat salah seorang hamba-Nya diistimewakan dari kawan-kawannya,” kata Rasul SAW.
Kisah ini dituliskan oleh Abdul Mun’im al-Hasyimi dalam Akhlak Rasul Menurut Bukhari Muslim (hal 24- 25). Inilah kunci kepemimpinan Rasulullah yang tidak ingin ada pengistimewaan. Sebab, beliau ingin melakukan segala sesuatunya selama perbuatan itu bisa dikerjakan sendiri, termasuk mencari kayu bakar.
Beliau ingin ikut kotor tangannya ketika sahabat yang lain juga kotor tangannya. Beliau ingin berkeringat ketika sahabat yang lain juga berkeringat. Beliau tidak ingin hanya duduk-duduk manis, tunjuk sana, tunjuk sini, perintah sana, perintah sini--tanpa ikut terlibat di dalamnya.
Inilah keteladanan agung Nabi Muhammad SAW yang kepemimpinannya tidak dibangun di atas keringat dan kebersamaan. Inilah sang teladan sejati, pemimpin yang keringatnya terus mengucur karena tak pernah berhenti melayani umatnya.
Bagi seorang teladan sejati, kepemimpinan tidak melulu urusan dunia. Lebih penting lagi, kepemimpinan menyangkut pertanggungjawaban kepada Allah SWT di akhirat kelak.
Karena itu, dalam menentukan kebijakan apa pun, pertimbangan pemimpin tidak seharusnya duniawi atau politis saja. Tujuannya, supaya pemimpin benar-benar mampu menegakkan kemaslahatan bagi rakyat karena semua tindak-tanduknya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT ('LPJ' yang tentu saja paling berat dan mustahil dimanipulasi).
Itu sebabnya, Nabi Muhammad SAW sedari awal mewanti-wanti melalui sabdanya; “Tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari).
Pertanyaannya, masih adakah di negeri ini, pemimpin yang keringatnya terus mengucur memikirkan nasib rakyatnya karena adanya kesadaran bahwa kelak kepemimpinannya akan diaudit oleh Allah SWT? Kita memang butuh pemimpin yang berkeringat untuk memperbaiki negeri ini.