REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof KH Achmad Satori Ismail
Diriwayatkan dari Jabir RA ia berkata, “Kami keluar untuk bepergian, tiba-tiba salah seorang dari kami kejatuhan batu sehingga retak kepalanya, lalu dia bertanya kepada kawan-kawannya, ‘Apakah menurut Anda, saya mendapat rukhsah (keringanan) untuk melakukan tayamum?’
Mereka menjawab, ‘Kami melihat tidak ada rukhsah untuk Anda karena Anda masih mampu menggunakan air.’ Maka, ia pun mandi. Tak lama kemudian, ia wafat.
Setelah kami menjumpai Nabi SAW dan menyampaikan berita tersebut. Beliau bersabda, ‘Mereka telah membunuhnya dan Allah akan membunuh mereka.
Seharusnya, mereka bertanya bila tidak mengetahui. Obat orang tidak tahu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayamum. Lukanya diikat dengan kain lalu diusap (dengan debu). Sedangkan sisa badannya disiram air.’” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Hakim).
Hadis ini menjelaskan bahwa manusia walaupun niatnya lurus bukan berarti boleh berbicara tentang hukum Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu. Orang yang setengah-setengah ilmunya akan menebar kerusakan di tengah umat manusia. Informasi yang tidak utuh dan tuntas akan membahayakan.
Ibnu Taimiyah berkata, “Perusak dunia itu ada tiga kelompok yang setengah-setengah; yakni ahli fikih yang setengah-setengah, dokter yang setengah-setengah, dan ahli nahwu (tata bahasa Arab) yang setengah-setengah. Ahli fikih yang setengah-setengah merusak agama, dokter yang setengah-setengah akan merusak badan, dan ahli nahwu yang setengah-setengah akan merusak Bahasa Arab dan salah mengambil konklusi hukum.”
Bila orang yang tidak berkompenten dimintai pendapat tentang sesuatu akan menebarkan kebingungan dan kekacauan. Rasulullah SAW bersabda, “Sebagian tanda kiamat, orang mencari ilmu dari orang-orang kecil (bukan ahlinya).” (HR Thabrani).
Betapa banyak masalah besar, namun tidak ditanyakan kepada ahlinya. “Akan datang pada manusia tahun-tahun penuh penipuan. Pendusta dibenarkan dan orang jujur didustakan. Pengkhianat dipercaya dan orang terpercaya dianggap khianat dan pada masa itu ruwaibidhoh banyak berbicara.” Ditanyakan, “Siapakah ruwaibidhoh itu?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang berbicara tentang urusan orang banyak.” (HR Imam Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim).
Imam Malik RA berkata kepada Sufyan bin Uyaynah, “Anda adalah orang berwibawa, maka lihatlah dari siapa Anda mengambil ilmu.” Beliau berkata, “Ilmu tidak boleh diambil dari empat kelompok, orang bodoh yang nyata kebodohannya, orang yang sudah dikenal pendusta, pengikut hawa nafsu yang menyeru orang untuk mengikutinya, dan orang tua ahli ibadah tapi tidak mengetahui pemasalahan yang terjadi.”
Sa’d bin Wahab meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra bahwa ia berkata, “Manusia akan selalu baik selama mengambil ilmu dari orang-orang besar, ulama, dan orang-orang terpercaya. Bila mengambil ilmu dari orang-orang kecil dan orang jahat, mereka akan hancur.”
Di era globalisasi ini, kita sering menyaksikan banyak orang yang meminta pendapat kepada orang yang bukan ahlinya. Bisa dibayangkan bagaimana jawaban dan dampaknya dari masalah itu. Karena itu, agar tidak menjadi perusak dunia, bertanyalah tentang sesuatu kepada ahlinya. Wallahu a’lam.