REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Abdullah Gymnastiar
Pada umumnya, ketika manusia mendapatkan kenikmatan berupa kedudukan ataupun harta, ia akan merasa bangga dan pamer ke sana-sini. Ia tidak memahami bahwa semua itu hanya titipan Allah, bukan miliknya.
Tiap hari, misalnya, ia mencuci mobil, tapi untuk berwudhu saja tidak sempat. Orang seperti itu masuk ke dalam golongan yang paling rendah. Sepanjang hari dinaungi nikmat yang tiada terputus, tapi nilai kesyukurannya nol.
Ahli syukur yang sejati adalah ketika ia mendapat harta, pangkat, kedudukan, ataupun gelar, ia hanya berpikir bahwa semuanya adalah karunia Allah yang diberikan agar ia lebih dekat kepada-Nya. Dan ia akan menggunakan karunia itu dengan benar agar berbuah berkah di jalan Allah. Inilah tipe ahli syukur.
Selain syukur pada Allah, kita juga harus syukur pada manusia. Tidak disebut seseorang itu sebagai ahli syukur kecuali ia juga syukur kepada manusia. Hati kita yakin bahwa semua yang kita dapatkan merupakan pemberian Allah melalui prosedur tertentu.
Anak yang tahu balas budi kepada orang tuanya, maka dia bisa disebut sebagai ahli syukur. Barang siapa yang sangat serius bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-Nya. Berarti anak yang paling tahu balas budi pada orang tua adalah anak yang paling nikmat hidupnya, sebab sikapnya itu Allah akan selalu menambah nikmat-Nya.
Mulai dari yang Terdekat
Sampai sejauh mana kita bersyukur? Kita seringkali tidak mengenang kebaikan seseorang, apalagi menyebut-nyebut jasa baiknya. Padahal, syukur itu adalah menyebut jasa baik orang lain. Contoh yang konkret ada di rumah dan keluarga kita.
Tidak sedikit istri yang melupakan kebaikan suami dan suami yang juga melupakan kebaikan istri. Kadang-kadang yang dilihat hanya kekurangannya saja. Sebenarnya dengan mengenang kebaikan orang, hal ini merupakan salah satu cara kita untuk mensyukuri nikmat Allah.
Orang yang bersyukur karena memiliki keturunan, maka ia mempunyai kewajiban untuk mendidik anak keturunannya itu agar dekat dengan Allah. Sebab tidak sedikit orang tua yang tercoreng aib gara-gara anaknya sendiri. Sesungguhnya itu bukan salah siapa-siapa, tapi kita harus sering melakukan introspeksi diri. Bisa jadi coreng aib itu muncul karena di masa-masa sebelumnya orang tua tidak hati-hati dalam mendidik anak. Introspeksi diri tidak pernah ada ruginya.
Bagi mereka yang memiliki profesi sebagai guru atau pendidik juga merupakan suatu keberuntungan. Karena hidupnya telah menjadi jalan ilmu bagi orang lain. Bukankah salah satu yang akan jadi cahaya di kubur adalah ilmu yang bermanfaat selain amal jariah dan anak-anak saleh? Kalau kita jadi guru, jadilah guru yang ikhlas, jangan sampai kita mengharapkan sesuatu dari anak-anak. Sebaliknya, kita harus mampu membekali mereka dengan ilmu untuk masa depannya.
Itulah investasi kita di alam kubur. Perkara rezeki itu masalah Allah. Inti menjadi seorang guru adalah mampu menjadi contoh bukan hanya sekadar bekerja mengajar saja. Jangan sampai pepatah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" melekat pada diri kita. Itulah yang paling penting dalam mensyukuri profesi ini, yaitu menjadi suri teladan dan selalu berjuang mendidik anak-anak agar lebih baik dari diri kita sendiri.
Cara Menunjukkan Nikmat
Memperlihatkan nikmat merupakan bagian dari syukur. Misalnya acara syukuran, acara tersebut merupakan salah satu cara kita untuk menyebut-nyebut nikmat Allah (tahadduts binni'mah).
Tapi, tetap saja kita harus hati-hati agar terhindar dari niat untuk dapat pujian dari orang lain. Luruskan niat karena kita yakin semua nikmat yang kita terima adalah dari Allah dan hanya Allah-lah yang patut mendapat pujian. Kalaupun kita mampu mengadakan acara syukuran, maka jangan sampai milih-milih tamu undangan.
Menurut Rasulullah SAW, undangan yang tidak berkah adalah undangan yang hanya memilih orang kaya saja dan mengabaikan fakir miskin. Alangkah baiknya kita membagi kenikmatan dengan orang-orang yang berhak menerima dan membutuhkannya agar nikmat itu barokah.
Kita ini seringkali terbalik. Kita buat pesta-pesta syukuran berbiaya tinggi. Orang kaya tertentu, sekali buat acara syukuran, bisa menelan biaya puluhan juta, ratusan juta, bahkan ada yang dalam hitungan milyaran. Masih untung jika pesta itu dihadiri oleh ratusan atau ribuan fakir miskin, anak yatim, kakek-nenek jompo, dan lain-lain.
Tapi kebanyakan yang datang adalah koleganya sendiri yang sudah pada makmur. Datang dengan mobil-mobil mewah, dengan pakaian dan perhiasan paling eksklusif. Kalau ada satu dua orang fakir hadir di tempat itu, kelihatan seperti orang asing yang penuh derita. Orang-orang makmur itu dalam pesta hanya makan sedikit. Banyak piring-piring makanan yang dibuang-buang.
Padahal, di mata fakir miskin, seperti sangat dirindukan. Inilah tanda ketika syukuran kita hilang berkahnya.