REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syarqawi Dhofir
Ceramah agama tentang surga dan neraka yang disampaikan para mubaligh di kampung-kampung sering dituduh tradisional, kolot, dan kampungan, oleh mereka yang biasa mendekati persoalan kemasyarakatan secara empiris dan rasional.
Lalu bagaimana dengan penyebutan Alquran yang tak kurang dari 150 kali untuk kata 'surga' dan 145 kali untuk kata 'neraka'? Surga dan neraka adalah simbol yang menyatakan tempat terakhir yang abadi untuk setiap manusia, penentu akhir yang memberikan justifikasi tentang perbuatan sehari-hari kita ketika hidup di dunia, yakni apakah perbuatan kita itu betul atau salah.
Dengan demikian, surga bukan sekadar tabsyir (berita persuasif yang merangsang orang agar kembali ke jalan benar), demikian pula neraka bukan sekadar tabdzier (berita koersif yang menakut-nakuti), tapi benar-benar merupakan kenyataan dan nyata ada.
Bagi orang beriman, kesadaran terhadap keberadaan surga memberi dorongan kuat dan mendatangkan kerinduan yang luar biasa, sehingga mampu mengalahkan semua harapan kepada yang lain. Sebaliknya, ingatannya kepada neraka membuat hatinya selalu bergetar, matanya menangis, sehingga enggan dan takut sekali menyentuh hal-hal yang subhat, apalagi yang jelas haram.
Kesadaran itulah yang pernah dialami Haritsah. Suatu ketika, Nabi Muhammad saw menanyainya tentang kebenaran iman sahabatnya itu dan Haritsah pun menjawab, ''Diriku tak terpikat dengan kelezatan duniawi, karena itu aku laparkan siangku dari dunia dan berjaga-jaga di malam hari. Seakan-akan aku melihat kerajaan Tuhanku bersinar terang dan aku lihat penduduk surga bersuka ria dan penduduk neraka menjerit-jerit.''
Nabi saw lalu berkata, ''Seorang yang beriman hatinya disinari oleh Allah. Dan engkau, Haritsah, telah tahu Tuhan (sampai pada tingkat makrifat), karena itu biasakanlah!'' Hal serupa juga dinyatakan oleh seorang pemuda pada zaman Khalifat Umar bin Abdul Aziz. Suatu hari, Khalifah menanyakan kepada pemuda itu tentang surga dan neraka. ''Wahai Amirul mukminien!'' jawab pemuda tadi, ''Jiwaku enggan dunia. Dalam pandanganku emas dan batu adalah sama. Seakan-akan aku melihat penduduk surga saling berkunjung, sementara penduduk neraka menjerit-jerit kesakitan.''
Setelah itu sang pemuda menceritakan hadis Nabi Muhammad kepada Amirul Mukminin, bahwa seluruh langit menggema. Tak sejengkal pun kosong dari gema. Karena setiap selebar empat jari dari langit yang luas itu ada seorang malaikat bersujud kepada Allah. Sang pemuda lalu mengutip sabda Rasulullah: ''Demi Allah sekiranya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.
Kalian tak akan bersukaria dengan wanita di atas lantai permadani kalian, bahkan kalian akan pergi ke tempat-tempat yang tinggi lari berebutan menuju Allah.'' Masihkah hati kita bergetar ketika mendengar 'neraka' disebut oleh seorang khatib, atau masih sempatkah kita berkata, ''Itu khotbah kolot?'' Rasanya pertanyaan itu cukup menjadi barometer kebenaran iman kita.