REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kritikan demi kritikan, hujatan atau kecaman datang silih berganti ditujukan ke pemerintahan Sayyidah Syaghab. Sejarawan Ibnu Thabathaba (709 H/932 M) menyebutkan dua faktor utama penyebab rapuhnya kekuasaan Syaghab.
Pertama, usia al-Muqtadir yang masih sangat belia saat berkuasa, yaitu 13 tahun. Kedua, hegemoni perempuan yang berlebihan di lingkaran istana. Bahkan, al-Muqtadir memberhentikan sepihak beberapa menteri dan menggantinya dengan menteri perempuan.
Kondisi ini memantik intrik politik di internal keluarga kerajaan. Riak-riak kecil konflik membesar dan berakhir pada upaya kudeta yang melibatkan petinggi militer. Setelah gagal pada percobaan kudeta perdana, akhirnya al-Muqtadir tewas terbunuh dalam kudeta kedua pada 320 H. Kematian sang anak itu, membuat “taring” Syaghab kian melemah. Sebagian besar harta kekayaan Syaghab yang menjadi incaran utama pengudeta, disita.
Bahkan, atas nama ketamakan dan kerakusan dunia, al-Qahir, salah satu pemimpin kudeta, memaksa Syaghab untuk menjual atau melepaskan lembaga wakaf. Ini dengan maksud inventaris harta lembaga-lembaganya itu bisa diambil alih secara paksa.
Namun, permintaan tersebut ditolak Syaghab. Menurutnya, wakaf adalah bentuk amal yang konstan dan tidak boleh dialihnamakan. Ia mengutip surah al-Baqarah ayat 181. “Saya membangun wakat ini atas nama filantropi dan kedekatan antara Makkah dan Madinah, untuk para dhuafa, dan aku tak akan pernah menjualnya,” katanya kepada al-Qahir dengan tegas.
Tetapi, apa daya dahaga duniawi telah membutakan mata hati al-Qahir. Lembaga berikut asetnya itu pun disita lalu dikeruk untuk kepentingan pribadi al-Qahir. Di mata manusia, aset tersebut boleh punah, tetapi di mata Allah SWT segala jerih payahmu akan abadi. Sekekal namamu sebagai perempuan perintis lembaga wakaf, wahai Syaghab.