REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di dalam peradaban Islam, organisasi filantropi sudah berdiri sebelum abad pertengahan. Lembaga ini dibangun pada masa Dinasti Abbasiyah. Sayyi dah Syaghab, ibunda Khalifah Abbasiyah, al-Muq tadir Billah, membuka pelayanan publik dalam bidang sosial dan kemanusiaan pada 908-938 M.
Syaghab merupakan ibu suri yang berasal dari kalangan da yang istana. Kehidupannya berubah saat ia dipersunting oleh Kha lifah al-Mutawakkil. Menjadi ibu suri membuat Syaghab di anugerahi harta melimpah berupa intan permata serta emas dan ber lian. Harta ini dikelola dengan baik. Syaghab menunjuk sejumlah petugas yang ahli dalam hal administrasi dan akuntansi untuk mengelola hartanya yang disimpan di Irak.
Meski memiliki harta dan berstatus sebagai keluarga khalifah, Syaghab tidak buta mata dan hati. Dia selalu memperhatikan ling kungan sekitarnya. Ia memiliki komitmen tinggi untuk memberdayakan kelompok marginal dan tidak mampu.
Dia mendirikan banyak lembaga wakaf di berbagai kota dan pelosok pedesaan. Ada beberapa petugas di istana yang ditugaskan untuk menjalankan lembaga wakaf itu. Beberapa layanan yang bisa didapatkan masyarakat, di antaranya di bidang kesehatan, ba han pokok, hingga bantuan pelunasan utang. Lembaga yang ia kelola juga memberikan bantuan bagi para peziarah Makkah dan Madinah.
Muslimah pemberani ini memiliki keyakinan jika wakaf adalah salah satu bentuk perwujudan kepribadian iman dan takwa. Ia ber harap apa yang ia usahakan kelak akan membuat namanya ke kal dan abadi sebagai mana pahala wakaf yang ia lakukan.
Wanita yang diberi julukan Ummu Gharib ini tidak hanya memiliki minat dalam bidang sosial kemanusiaan saja. Ia memiliki mim pi akan hadirnya keadilan yang sama dalam kehidupan ma sya rakat. Ia kembali membuat sebuah gerakan dengan menghadir kan tempat khusus bagi warga yang ingin mengadu agar keadilan bisa terpenuhi.
Syaghab pun menugaskan sejumlah asisten perempuan di is tana untuk menjadi hakim. Mereka bahkan menangani masalah yang ada di masyarakat. Niat baik Syaghab itu tidak lantas diteri ma dengan baik oleh masyarakat. Gerakan itu sepi peminat. Ia pun memutar otak dan akhirnya memilih Abu al-Hasan untuk men jadi hakim. Ternyata, hal ini mendapatkan respon positif. Ba nyak warga yang mendatangi tempat tersebut untuk mencari keadilan.
Seiring berjalannya waktu, gejolak pro dan kontra pun muncul atas usaha-usaha yang dilakukan oleh Syaghab. Kritikan dan hu jatan datang dan perlahan menghancurkan apa yang telah ia ba ngun. Sejarawan Ibnu Thabathaba menyebut ada dua faktor yang menyebabkan hal tersebut.
Faktor pertama, yakni usia al-Muqtadir Billah terbilang masih muda saat berkuasa, yaitu 13 tahun. Kedua, hegemoni perempuan yang dianggap berlebihan di lingkungan istana. Al-Muqtadir diketahui memberhentikan sepihak beberapa menteri laki-laki dan diganti dengan menteri perempuan.
Kondisi ini memantik intrik politik di internal keluarga kerajaan yang kian membesar dan berakhir pada upaya kudeta yang melibatkan petinggi militer. Percobaan kudeta perdana gagal di lakukan. Namun, saat kudeta kedua dijalankan, al-Muqtadir tewas ter bunuh pada 320 H. Kematian sang anak membuat kekuatan Syaghab kian melemah dan sebagian besar harta kekayaannya disita. Atas nama ketamakan dan kerakusan dunia, salah satu pemimpin kudeta, al-Qahir, memaksa Syaghab melepaskan kepemilikan atas lembaga wakaf. Hal ini dilakukan agar inventaris harta lembaga-lembaga itu bisa diambil alih secara paksa.
Permintaan tersebut jelas ditolak oleh Syaghab. Menurut dia, wakaf adalah bentuk amal yang konstan dan tidak boleh dialihnamakan. Ia beranggapan pendirian wakat ini atas nama filantropi dan kedekatan terhadap dua kota suci, Makkah dan Madinah. Lembaga wakaf ini berdiri ditujukan bagi para dhuafa. Karena itu, Syaghab bersikeras tidak akan pernah menjualnya.
Di akhir cerita, karena telah dibutakan oleh keinginan akan du nia wi, al-Qahir tetap menyita lembaga tersebut berikut asetnya. Harta yang ada dikeruk untuk kepentingan pribadi al-Qahir.