Kamis 28 Mar 2019 17:30 WIB

Awal Mula Inggris Menyerang Kesultanan Kutai

Kedatangan James Erskine Murray jadi awal bagi Kutai menerima serangan tersebut.

(ilustrasi) Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara terletak di Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Foto: tangkapan layar kebudayaan.kemendikbud.go.id
(ilustrasi) Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara terletak di Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1799, Kompeni bangkrut sehingga pengaruhnya di Nusantara beralih ke tangan Kerajaan Belanda melalui perantaraan seorang gubernur jenderal. Menurut buku Sejarah Kota Samarinda (1986), sampai permulaan abad ke-19, Belanda belum mengadakan kontak dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Kalimantan.

Selanjutnya, Inggris mulai menguasai Nusantara setelah menggempur basis Belanda di Batavia (Jakarta) serta melalui perjanjian Tuntang 1811. Meskipun hanya bertahan singkat, Inggris merintis reformasi administrasi kolonial di Nusantara. Jawa menjadi dibagi atas belasan wilayah keresidenan. Sistem ini kemudian diteruskan Belanda ketika pada akhirnya berhasil merebut Nusantara dari Inggris melalui Konvensi London 1814.

Baca Juga

Sejak 19 Agustus 1816, Belanda memantapkan jajahannya di seluruh Nusantara, termasuk Kalimantan Timur. Pada 1825, gubernur jenderal mengirim utusannya, George Muller, untuk mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Kutai Kertanegara yang dipimpin Sultan Salihuddin.

Namun, Muller kemudian tewas dalam sebuah perampokan di sekitar Marakaman. Saat itu, dia sedang dalam perjalanan ke Pontianak melalui Sungai Mahakam. Pihak Belanda menuding orang-orang Kutai sebagai dalang pembunuhan ini tetapi tuduhan ini ditampik Sultan Salihuddin.

Bagaimanapun, Belanda dengan kekuatan militernya yang serba terbatas tidak bisa berbuat banyak. Sebab, di saat yang sama Belanda sedang menghadapi perlawanan di Bonjol (Sumatra Barat) dan Ponorogo (Jawa). 

Meskipun secara de jure telah kehilangan kekuasaan, Inggris masih mencari celah untuk menguasai Kalimantan. Pada 1844, ekspedisi berbendera Inggris mencapai wilayah pesisir Kalimantan Timur. Pelayaran ini terdiri atas dua unit kapal, yakni kapal utama Young Queen dan kapal perusak Anna, masing-masing dipimpin Kapten Hart dan Kapten Lewis.

Seluruh ekspedisi ini dikomandoi James Erskine Murray dengan tujuan mendominasi Kerajaan Kutai Kertanegara. Dia dipandu seorang penerjemah berkebangsaan Benggala.

James Murray merupakan putra seorang bangsawan Skotlandia, Alexander Murray yang bergelar Lord Elibank VII. Di Inggris, dia lebih dikenal sebagai seorang advokat. Kedatangannya ke Kalimantan disertai obsesi untuk mengikuti jejak James Brooke. Pada 1842, Brooke berhasil mendekati Sultan Brunei sehingga menjadikannya penguasa Sarawak.

Sesampainya di Samarinda, James Murray menyuruh orang-orang untuk memanggilnya dengan gelar “Tuan Besar.” Saat itu, dia mengabaikan kekuasaan Sultan Kutai. Dia pun mencapai Tenggarong dengan menyusuri Sungai Mahakam. Tujuannya untuk menemui langsung Sultan Kutai agar bersedia memberikan kepadanya wilayah di Tenggarong.

Nantinya, daerah tersebut akan dipakai sebagai basis perniagaan Inggris dan dirinya pribadi. Berkat taktik diplomasi yang ulung, James Murray diizinkan Sultan Salihuddin untuk mendirikan perwakilan dagang di Samarinda dengan alasan kota ini memang sebuah pusat perniagaan yang terbuka.

Namun, permintaan petualang Inggris ini semakin menjadi-jadi. Setelah izin tersebut diperolehnya, James Murray masih berambisi untuk masuk ke pedalaman Kutai. Dia pun mengirimkan surat kepada penguasa setempat.

Isinya mendesak Sultan Kutai agar mengirimkan kepadanya pangeran dan adipati Kutai sebagai pendampingnya selama perjalanan ke sana. Bila lewat dari setengah jam usai surat tersebut dikirim belum ada jawaban, Murray mengancam akan menyerang kerajaan Muslim itu.

Benar saja. James Murray nekat menembak istana Kutai Kertanegara dengan meriam. Pertempuran pun pecah. Pasukan Murray pun kocar-kacir dan kekalahan. Murray sendiri terjun ke laut lepas untuk melarikan diri sebelum pada akhirnya ikut tewas.

Berita tewasnya seorang keturunan bangsawan Inggris sampai ke Singapura. Pihak Inggris ingin membalas kekalahan ini tetapi terbentur dominasi Belanda di Nusantara. Kepada Inggris, gubernur jenderal Hindia Belanda berjanji untuk menyelesaikan persoalan ini. Tidak lama kemudian, Belanda mengirimkan armada tempurnya ke Tenggarong. Serangan ini menyebabkan istana Kutai Kertanegara porak-poranda. Sultan Salihuddin bahkan harus mengungsi ke luar Tenggarong bersama dengan para pengikutnya.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement