REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama 130 tahun, Malaka menjadi jajahan Portugis. Bangsa Eropa itu, bagaimanapun, justru dapat dikatakan gagal dalam memonopoli komoditas penting di Nusantara, termasuk rempah-rempah dari Maluku.
Alih-alih kian teguh berkuasa, Portugis malahan menghadapi ancaman dari keturunan ningrat Malaka. Mereka telah mendirikan istana atau kerajaan baru di Riau-Lingga. Berulang kali, mereka pun menyerang Malaka, dengan tujuan merebut kembali pelabuhan penting itu.
Dinasti raja-raja Malaka yang tersisa kemudian membentuk kerajaan baru di Semenanjung Malaya, tepatnya Johor. VOC (Belanda) yang tiba di Nusantara pada abad ke-17 melihat konflik antara Portugis dan Malaka sebagai kesempatan. Apalagi, yang kemudian itu mau bekerja sama untuk membentuk suatu koalisi.
Menurut Barbara W Andaya dalam Historic Cities of the Islamic World (2007), ada perbedaan perlakuan Belanda yang menganut Kristen Protestan daripada Portugis yang Katolik. Penduduk Muslim setempat pada umumnya tidak dipaksa untuk berpindah agama. Hal ini kontras dengan rezim Portugis yang cenderung memandang umat Islam sebagai kaum yang sesat sehingga harus dipaksa menjadi Nasrani.
Akhirnya, pada 1641 Malaka berhasil ditaklukkan Belanda. Hal ini menandakan akhir hegemoni Portugis di Nusantara. Sisa-sisa kekuatan Portugis hanya terdapat di Pulau Timor, yang dikuasainya sejak pengusiran dari Maluku pada 1575.
Belanda cenderung berbeda daripada Portugis setelah menguasai Malaka. Di antara kota-kota pelabuhan lain, Belanda memilih Batavia (kini Jakarta), alih-alih Malaka, sebagai bandar utama sekaligus pusat kekuasaan di Nusantara. Akan tetapi, Selat Malaka tetap dikuasainya. Dengan begitu, Dinasti Malaka yang tersisa tidak bergeser dari Johor.
Jatuhnya Malaka ke tangan bangsa-bangsa non-Muslim membuatnya tidak lagi bersinar selayaknya pusat peradaban Islam di Nusantara. Malaka kemudian menjadi daerah taklukan dari satu penguasa ke penguasa lain asal Eropa. Pada 1795, Perang Napoleon pecah sehingga mengubah geopolitik kolonialisme di Timur. Malaka jatuh ke tangan Inggris.
Sesudah perang itu mereda, Malaka dikembalikan kepada Belanda pada 1818. Namun, pelabuhan ini diberikan lagi kepada Inggris sebagai kompensasi penyerahan Bengkulu. Demikianlah keadaannya, kolonialisme Inggris yang berpusat di Singapura terus mengendalikan Semenanjung Malaya, termasuk Malaka. Pada 1957, Federasi Malaysia memaklumkan kemerdekaan. Malaka menjadi salah satu bagian dari negara baru ini, sampai sekarang.