REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inggris telah menjalin hubungan dagang dan diplomatik yang cukup erat dengan Dunia Islam setidaknya sejak zaman Ratu Elizabeth I. Pada awal abad ke-17, misalnya, Inggris mulai bekerja sama dengan Kesultanan Maroko. Hal ini dilatari perang antara Inggris dan Spanyol yang berlangsung sejak pertengahan hingga akhir abad ke-16.
Pertempuran ini diwarnai sentimen keagamaan antara Spanyol yang Katolik dan Inggris yang Protestan (Anglikan). Sebagai strategi menembus blokade Spanyol di Laut Tengah, Inggris khususnya sejak 1596 kian membuka diri dengan Kesultanan Maroko. Negeri Muslim itu memiliki sejumlah pelabuhan yang penting di pesisir Laut Tengah.
Pada 1600, Sultan Ahmad al-Mansur mengutus pejabat tingginya, Abdul Wahid bin Messaoud, sebagai duta besar untuk Inggris Raya. Ini merupakan bukti dari penguasa Maroko tersebut bahwa negaranya menaruh minat besar mewujudkan aliansi yang saling menguntungkan dengan Inggris.
Ratu Elizabeth I menjawabnya dengan penerimaan resmi yang begitu mengesankan. Buku Britain and the Islamic World 1558-1713 karya Gerald MacLean dan Nabil Matar menyebutkan, Ratu Elizabeth I merupakan penguasa Inggris pertama yang menerima utusan Muslim langsung di istana kerajaan.
Wiliam Shakespeare
Shakespeare dan Parfum
Pengaruh penerimaan utusan Maroko itu tidak hanya di tataran politik, melainkan juga budaya. Satu contoh pengaruh Arab-Islam tercermin dalam karya sastrawan agung, William Shakespeare. Drama tragedinya, "Othello, the Moor of Venice", terinspirasi dari sosok duta besar Maroko untuk Inggris itu, Ibnu Messaoud.
Beberapa teks Shakespeare lainnya juga menyertakan unsur budaya Arab-Islam. Misalnya, metafora yang dipakai Lady Macbeth, tokoh di satu karya Shakespeare: "Here's the smell of blood still. All the perfumes of Arabia will not sweeten this little hand."
Maknanya, bahkan parfum terbaik di dunia saat itu tidak bisa menghilangkan ketakutan Lady Macbeth akan lumuran darah Duncan yang mati dibunuh.
Bila diperhatikan konteksnya, ada latar belakang dari karya-karya yang cenderung apresiatif terhadap Islam semacam itu. Dalam masa Ratu Elizabeth I, peleburan cakrawala kebudayaan Islam ke dalam kebudayaan Inggris terjadi seturut dengan dinamika ekonomi dan politik, bukan semata-mata isu hubungan antarumat agama.
Parfum merupakan satu dari sekian banyak komoditas berkualitas tinggi yang kala itu didatangkan dari Dunia Islam ke Inggris. Begitu pula dengan Ibnu Messaoud, seorang utusan dari suatu kesultanan Muslim yang datang ke Inggris dengan penghormatan yang tinggi. Barangkali, keterbukaan di bidang ekonomi dan politik itulah yang menjadikan era Ratu Elizabeth I sebagai suatu zaman keemasan Inggris, sebagaimana pendapat kalangan sejarawan.
Sebaliknya, kaum Muslim pun menerima kekuatan Inggris sebagai fakta tak terbantahkan dalam zaman itu. Pada akhir abad ke-16, seturut dengan perang Inggris-Spanyol, Ratu Elizabeth I menerima petisi dari kaum Muslim di London. Isinya adalah bahwa mereka ingin bergabung dengan angkatan laut Inggris dalam menghadapi Spanyol.
Kedigdayaan Spanyol di lautan rupanya cukup mengganggu jalur perniagaan maritim khususnya armada-armada non-Katolik. Oleh karena itu, kerja sama perdagangan antara Inggris dan kesultanan Muslim dipandang memungkinkan.
Setidaknya, ada empat kongsi dagang yang memuluskan jalan bagi peningkatan hubungan komersial dan, karenanya, budaya antara Inggris dan Dunia Islam sejak abad ke-16.
Mereka adalah Turkey Company (1581, namun pada 1592 berganti nama menjadi Levant Company), Barbary Company (1585), East India Company (1600), dan Guinea Company (1588).
Perusahaan yang tersebut terakhir itu memfasilitasi para pedagang asal Negeri Albion--julukan Inggris--dengan saudagar-saudagar Muslim. MacLean dan Matar menyebutkan, abad ke-17 merupakan momentum keakraban kembali Inggris dengan para penguasa Muslim sejak abad ke-13 atau berakhirnya Perang Salib.