REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejumlah negara tengah bersaing menyediakan wisata halal, termasuk Indonesia. Beberapa bahkan sudah lebih dulu mengembangkan sektor itu, seperti Thailand, Jepang, Korea Selatan, Eropa, dan Rusia.
Anggota DPD RI atau Senator Fahira Idris mengatakan, saat ini banyak negara berlomba menarik hati wisatawan Muslim dunia dengan menyediakan berbagai fasilitas pendukung. Hal itu meliputi hotel, kuliner, tempat ibadah, dan lainnya yang sesuai prinsip sekaligus kenyamanan para Muslim.
Potensi wisata halal ini juga terus menggeliat seiring tumbuhnya nilai transaksi pasar wisata Muslim. Berdasarkan perkiraan Global Muslim Tra vel Index (GMTI), nilai transaksi wisata Muslim bisa mencapai 220 miliar dolar AS pada 2020.
"Jadi (wisata halal) lebih ke pengembangan fasilitas dan peningkatan layanan di berbagai destinasi wisata bagi wisatawan Muslim agar lebih nyaman saat berlibur. Jangan karena ada kata 'halal', persepsinya menjadi sebuah daerah wiata akan diubah budayanya," ujar Fahira melalui siaran pers.
Tokyo, misalnya, kata dia, walau mengembangkan wisata halal, tetap menjadi Tokyo yang menonjol kan keunikan budayanya. "Bangkok pun akan tetap ja di Bangkok dengan keeksotisan buda yanya, dan Ba li tetap akan menjadi Bali dengan berbagai keka yaan dan keindahan atraksi budaya serta kearifan lokalnya yang sudah sangat terkenal di dunia," jelasnya.
Menurut Fahira, wacana atau diskursus wisata halal yang sebenarnya bukan hal baru dan bahkan sudah dipraktikkan oleh negara-negara dengan penduduk Muslim minoritas. Maka, sebaiknya, lanjut dia, dilihat dari ikhtiar dan upaya menjadikan pariwisata benar-benar menjadi andalan dan tulang punggung perekonomian bangsa. Pasalnya, industri pariwisata paling tahan terhadap ancaman gelombang krisis.
"Jadi, jangan dipersepsikan atau dibenturkan dengan budaya setempat. Alasannya, wisata halal ini merupakan salah satu cara pengembangan wi sata untuk menangkap peluang dan memajukan in dustri pariwisata," tuturnya.