REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jangan terlalu lekas menghakimi seseorang hanya dari penampilannya yang lusuh. Sebab, boleh jadi orang itu memiliki kemuliaan dan ketakwaan yang belum diketahui. Hikmah itulah yang dapat dipetik dari kisah berikut ini, tentang Uwais al-Qarni.
Baca juga: Ketika Khalifah Umar Mencari Sang Pemuda Langit (2)
Sesungguhnya, Uwais al-Qarni pantas mendapatkan predikat sahabat Rasulullah Muhammad SAW. Namun, dia "hanya" bisa diklasifikasikan sebagai generasi tabiin. Meski hidup sezaman dengan Nabi SAW, belum pernah sepanjang hayatnya dia berjumpa dengan beliau.
Penyebabnya tidak terutama jauhnya jarak antara tempat tinggalnya dan Madinah. Uwais berasal dari Arab Selatan atau Yaman, sehingga perjalanan menuju Kota Nabi itu bisa ditempuh dengan memakan waktu tertentu.
Uwais al-Qarni bukannya tidak rindu pada baginda shalallahu 'alaihi wasallam. Sebagai anak yatim dan miskin, kehidupannya serba terbatas secara ekonomi. Ayahnya sudah lama meninggal dunia sejak dirinya masih anak-anak. Dia tinggal hanya dengan ibundanya, yang amat dia hormati dan cintai.
Sang ibunda mengidap sakit sehingga hampir sekujur tubuhnya lumpuh. Bahkan, kedua matanya buta. Di sekitar rumahnya, tidak ada sanak famili sama sekali. Hanya tetangga yang juga hidup serba kekurangan.
Bagaimanapun, Uwais al-Qarni mengurus ibundanya itu dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Saat remaja, dia bekerja sebagaii penggembala kambing orang. Dari upah pekerjaannya itu, dia menafkahi ibunda dan dirinya sendiri. Bila ada rezeki sedikit lebih, maka dia sedekahkan kepada para tetangga atau mereka yang sedang sangat membutuhkan.
Satu hal yang membuat hatinya sedih. Banyak tetangganya yang telah melakukan safar ke utara untuk bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Mereka kerap menceritakan, betapa anggun akhlak Rasulullah SAW. Beberapa juga menuturkan bagaimana perawakan utusan Allah SWT tersebut. Betapa rindunya Uwais al-Qarni, ingin berjumpa langsung dengan beliau!
Akhirnya, Uwais memberanikan diri untuk meminta izin kepada ibundanya. Setelah menyimak penuturan putranya itu yang disampaikan secara lemah-lembut, maka perempuan itu memahami. Sang ibu pun membolehkan Uwais al-Qarni untuk pergi ke Madinah, menemui Rasulullah SAW.
Tentu saja, pemuda ini menyiapkan berbagai bekal dan tabungan untuk ibundanya. Dia juga menitipkan untuk sementara pengurusan ibunya yang difabel itu kepada beberapa tetangganya. Mereka bersedia. Restu sang ibu juga telah diperoleh. Maka berangkatlah Uwais ke Madinah.