Rabu 27 Feb 2019 20:13 WIB

Menengok Perpustakaan al-Azhar Era Klasik

Koleksi Perpustakaan al-Azhar sangat unggul pada zaman klasik.

(ilustrasi) kompleks Universitas al-Azhar Kairo
Foto: tangkapan layar google
(ilustrasi) kompleks Universitas al-Azhar Kairo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan Muslim dari abad ke-15, Al-Qalqashandi, memuji Mesir sebagai negeri dengan peradaban Islam yang memukau. Menurut dia, sebagaimana terangkum dalam buku Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia (2006), Mesir juga menjadi tempat bagi tumbuhnya budaya literasi.

Salah satu contoh terkemuka adalah Perpustakaan Dar al-‘Ilm. Letaknya dalam kompleks Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir. Pelopornya adalah Dinasti Fatimiyyah.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Baca Juga

Sejak awal, para sultan Fatimiyyah mendirikan perpustakaan itu dalam konteks persaingan dengan Dinasti Abbasiyah. Bila Baghdad--pusat Wangsa Abbasiyah--mampu menjadi permata peradaban, mengapa Kairo tidak?

Kunci kemenangan fastabiqul khairat ini terletak pada peningkatan mutu perpustakaan. Maka berdirilah mula-mula Masjid Al-Azhar pada 971 sebagai pusat aktivitas keagamaan dan keilmuan.

Awalnya, nama masjid tersebut bukanlah al-Azhar, melainkan Jami’ al-Kahhirah. Institusi ini kemudian dinamakan al-Azhar supaya nisbahnya sampai kepada putri Rasulullah SAW, Fatimah az-Zahra.

Kegiatan akademis di Masjid Al-Azhar berlangsung empat tahun sejak pendiriannya. Kuliah perdana disampaikan Abu hasan Ali bin Muhammad bin an-Nu'man selaku kadi tertinggi Dinasti Fatimiyah kala itu. Wangsa tersebut kemudian terimbas geger politik, sehingga tergantikan oleh Dinasti Ayyubiyah.

Pada masa transisi, Universitas Al-Azhar sempat redup, tetapi kembali hidup pada era pemerintahan Ayyubiyah. Perpustakaan memegang fungsi yang amat penting dalam sistem pengajaran di al-Azhar, yang berupa lingkaran studi di dalam masjid (halaqah), diskusi-diskusi (niqasy), dan dialog (hiwar).

Nama perpustakaannya adalah Dar al-‘Ilm. Penyelenggaraan Dar al-‘Ilm sesungguhnya telah berlangsung sejak era Khalifah al-Hakim dari Dinasti Fatimiyyah. Dia pula yang merintis kegiatan donasi, yang berupa ribuan buku dari rumah pribadinya untuk Dar al-‘Ilm.

Perpustakaan tersebut dibuka untuk umum. Katalog bertahun 435 hijriah (1045 M) menunjukkan,  Dar al-’Ilm mengoleksi sebanyak 6.500 buku bertema astronomi, arsitektur, dan filsafat.

Pada zaman pemerintahan Al-Muntasir (1036–1094), perkembangannya mulai begitu pesat. Ketika Dinasti Fatimiyyah runtuh, penggantinya hendak menjual semua warisan penguasa terdahulu itu, termasuk buku-buku di Dar al-‘Ilm.

Beruntung, al-Fadhil al-Basyani berhasil menyelamatkan banyak koleksi dari perpustakaan itu. Kadi Dinasti Ayyubiyah itu sampai-sampai mesti membeli kembali buku-buku yang sempat terjual di pasaran.

Semua upaya itu dilakukannya lantaran rasa cinta terhadap dunia literasi. Selain itu, al-Basyani juga berjasa menyumbang sekitar 100 ribu buku ke pelbagai madrasah Al-Fadhiliyah yang didirikannya. Pencinta buku lainnya di Kairo adalah Abdus Salam al-Qazwni.

Koleksi pribadinya mencapai 40 ribu buku, yang di antaranya merupakan hasil pembeliannya dari istana Dinasti Fatimiyyah. Bahkan, sumber Abu Shama menyebut jumlah koleksinya mencapai dua juta buku!

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement