REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat dikenal luas sebagai kritikus sastra, Sayyid Qutb cenderung sebagai intelektual yang gelisah. Di satu sisi, kegelisahan ini dapat bersumber dari konteks zamannya.
Musallam dalam disertasinya untuk University of Michigan (1983) mengutip komentar sejarawan Badawi. Dijelaskannya bahwa situasi sosial-politik Mesir pada era 1930-an cukup merosot.
Banyak kalangan penulis yang memilih tema kesepian karena putus asa dengan kondisi masyarakat yang pesimistis. Di sisi lain, melalui tulisan-tulisannya, Sayyid Qutb merasa gelisah karena takut terlalu mengekor nama besar al-Aqqad, mentornya kala itu.
Betapapun begitu, al-Aqqad sendiri kerap menegaskan, akal budi manusia-lah yang akan menuntun jalan setiap penyair. Sejak 1940-an, hubungan Sayyid Qutb dengan mentor sastranya itu memang mulai merenggang.
Barat vs Timur
Ketajaman pena Sayyid Qutb dalam mengkritik budaya Barat sudah mengemuka sejak 1930-an. Musallam menjelaskan, sebagai intelektual Mesir Sayyid Qutb sejalan dengan rekan-rekannya dari generasi 1920-an yang mencoba merumuskan identitas nasional lepas dari dominasi Barat.
Satu hal yang kerap disuarakan Sayyid Qutb adalah, kebudayaan Barat terlampau mengagungkan progres kebendaan (materialisme) dengan mengabaikan aspek-aspek rohani.
Baginya, Barat mengalami keadaan jahiliyah atau bahkan kelainan jiwa kolektif sehingga enggan memiliki arah tujuan. Pada akhirnya, krisis yang dialami Barat tersebar merata ke penjuru dunia berkat kolonialisme sejak abad ke-19.
Sayyid Qutb juga mengkritik kaum Arab yang suka meniru-niru Barat. Dia menyebut mereka sebagai pengidap sindrom terjajah. Mereka tidak sadar bahwa Barat merupakan sumber kemerosotan moral.
Menurut Sayyid Qutb, ilmuwan Muslim Ibnu Khaldun merupakan intelektual pertama yang mengidentifikasi sindrom demikian pada suatu masyarakat. Dia menyimpulkan, Timur harus bangkit dan maju tanpa mengikuti jejak Barat yang membangun kebudayaan dan masyarakatnya tanpa arah dan perenungan.
Sayyid Qutb lantas mengecam keras cara Barat memandang Timur. Menurutnya, Barat melalui kerja para orientalis telah menuding Islam dan Timur pada umumnya secara tidak adil.
Kalangan orientalis telah gagal dalam memahami aspek spiritual Islam dengan memandang risalah Nabi Muhammad SAW semata-mata tidak masuk akal. Padahal, Sayyid Qutb menegaskan, akal manusia pada dasarnya terbatas dalam memahami gejala alam semesta, apalagi eksistensi Sang Pencipta.
Baca juga: Sayyid Qutb, Intelektual-Sastrawan Penulis Kitab Tafsir (5)