Jumat 22 Feb 2019 15:18 WIB

Sayyid Qutb, Intelektual-Sastrawan Penulis Kitab Tafsir (5)

Sayyid Qutb tersentuh akan adanya nilai sastra di dalam Alquran

(ilustrasi) Sayyid Qutb (kanan)
Foto: tangkapan layar google image
(ilustrasi) Sayyid Qutb (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Musallam dalam disertasinya untuk University of Michigan (1983) menyebut, sejak akhir 1930-an Sayyid Qutb kian kritis terhadap Barat. Beberapa sasaran utamanya adalah Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).

Saat itu, dua imperium yang tersebut pertama menggempur perjuangan kaum nasionalis di Suriah, Maroko, Tunisia, Aljazair, dan Palestina. Dia juga mengutuk keras pergerakan Zionisme yang semakin menyudutkan bangsa Palestina di tanah airnya sendiri.

Baca Juga

AS juga dikecamnya lantaran mendukung pendudukan Zionisme. Namun, segenap pandangan kerasnya itu tidak hanya berasaskan teori, tetapi juga pengamatan dan pengalaman langsung di lapangan.

Sayyid Qutb diketahui kerap mengadakan kunjungan ke negara-negara Barat. Bahkan, dua tahun lamanya dia menetap di AS untuk menimba ilmu di Wilson Teachers' College (Washington DC), Colorado State College for Education (Greeley), dan Stanford University.

Hasil lawatannya ini dituangkan dalam karyanya, The America I Have Seen: In the Scale of Human Values (1951). Isinya antara lain mengkritik masih adanya gaya hidup jahiliyah masyarakat Barat, khususnya Negeri Paman Sam. 

Sebelumnya, dia mulai tertarik untuk kembali mendalami Alquran. Pada Februari dan Maret 1939, artikel Qutb tentang nilai kesastraan Alquran terbit di jurnal al-Muqtathaf.

Menurut Musallam, penerbitan karya ini merupakan awal pergeseran peran Sayyid Qutb dari seorang budayawan atau kritikus sastra menjadi ulama Muslim terkemuka. Namun, semua itu masih dalam posisinya sebagai intelektual anti-Barat.

Pada 1945 dan 1947, Sayyid Qutb berturut-turut menerbitkan buku al-Taswir al-Fanni fi al-Qur’an dan Masyahid al-Qiyamah fi al-Qur'an. Dengan dua karya pentingnya itu, dia berharap para pembaca dapat menghayati betapa indahnya kitab suci Alquran.

Baginya, Alquran pertama-tama disimak melalui keindahan bahasanya yang mempesona. Itulah yang menyentuh bangsa Arab pada zaman Rasulullah SAW. Barulah kemudian, setelah tertarik pada daya sastrawi Alquran, orang-orang Arab merasa terpanggil untuk menelaah lebih lanjut kandungan dan hikmah Kitabullah itu secara lebih detail. Maka lahirlah banyak pakar tafsir dari generasi ke generasi.

Demikian juga dengan Sayyid Qutb. Dia tidak berhenti pada soal kesastraan. Dalam tulisan-tulisannya, tampak semangatnya untuk menyoroti apa saja pesan-pesan Alquran kepada umat manusia, khususnya kaum Muslim.

Musallam menyebut, pada akhir 1943, Sayyid Qutb menulis artikel yang menegaskan perlunya umat Islam terutama di Mesir untuk kembali meneguhkan jiwa tauhid. Ini sesuai dengan konteks zaman saat itu.

Sejak 1945, Perang Dunia II berakhir. Negeri-negeri yang dahulunya terjajah, termasuk Mesir, sempat mengalami keadaan yang tak menentu. Dalam konteks yang lebih khusus, umat Islam di negeri-negeri itu terpecah-pecah ke dalam sejumlah negara, yang batas-batasnya adalah demarkasi warisan kolonialisme sebelumnya.

Baca juga: Sayyid Qutb, Intelektual-Sastrawan Penulis Kitab Tafsir (6-Habis)

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement