REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk berjaga-jaga menghadapi Belanda, Sultan Ageng Tirtayasa bekerja sama dengan Pangeran Trunojoyo dari Madura, serta pihak-pihak dari Bangka dan Makassar.
Pada 1676, dia memasok persenjataan kepada orang-orang Trunojoyo yang bersauh di Cirebon. Sementara, pada 1671 ratusan pasukan Makassar di bawah pimpinan Karaeng Montamarmo mengunjungi Banten.
Sampai di sini, segalanya tampak siap. Namun, Belanda dengan lihai dapat mencium intrik di lingkungan internal Kesultanan Banten sendiri. Itulah yang dimanfaatkannya.
Sultan Ageng Tirtayasa diketahui memiliki putra mahkota, yakni anak sulungnya sendiri yang bernama Pangeran Anom. Pada 1671, Pangeran Anom menunaikan ibadah haji. Usai itu, dia tiba di Tanah Air serta dianugerahi gelar Sultan Abdul Qahar--sebutan yang diperolehnya dari syarif Makkah.
Sejak saat itu, Pangeran Anom alias Sultan Abdul Qahar resmi naik takhta sebagai sultan muda, sedangkan ayahnya menjadi sultan tua. Bagaimanapun, Sultan Ageng Tirtayasa tetap mengendalikan beberapa urusan eksternal kerajaan.
Belanda mengadu domba
Sultan Abdul Qahar tinggal di Surosowan. Itu berbeda dari ayahnya yang menetap di Tirtayasa.
Jauhnya bapak dan anak ini menjadi kesempatan bagi Belanda untuk mengadu domba keduanya. Orang-orang Belanda menghasut Sultan Abdul Qahar agar melawan bapaknya.
Kompeni menghembuskan isu bahwa Sultan Ageng Tirtayasa enggan melepaskan seluruh kewenangan kerajaan kepada anaknya itu, Sultan Abdul Qahar.
Upaya Belanda untuk melemahkan Kesultanan Banten dari sisi internal dapat dipahami. Sebab, kekuatan militer negara Islam ini cukup piawai untuk menahan dominasi Kompeni di Jawa yang berpusat Batavia.
“Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur-leburkan, atau Kompeni-lah yang lenyap,” demikian tulis Gubernur Jenderal Rijklof van Goens dalam suratnya ke Amsterdam, tertanggal 31 Januari 1679.
Akhirnya, Sultan Abdul Qahar jatuh dalam pengaruh Kompeni. Pada 1680, dia bahkan mengirimkan utusan untuk mengucapkan selamat atas dilantiknya gubernur jenderal Kompeni yang baru, Cornelis Speelman.
Tindakan ini menyulut rakyat Banten dan lebih-lebih ayahnya sendiri. Sultan Ageng Tirtayasa segera menyusun kekuatan yang terdiri atas aliansi pasukan dengan pelbagai suku bangsa. Misalnya, Makassar, Melayu, dan bahkan rakyat dari Pontang, Caringin, Tanara, Lampung, serta Bengkulu. Kali ini, mereka hendak menyasar Surosowan karena dinilai telah melewati batas toleransi.
Baca juga: Geliat Kesultanan Banten Melawan Penjajahan (4)