REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam perkembangan berikutnya, para mustamin (pedagang asing yang singgah) tidak begitu mengandalkan lantai pertama magazine sebagai tempat menginap. Mereka memilih funduq yang lebih nyaman dan mudah ditemui pada kota-kota besar di wilayah Islam.
Baca juga: Perhatian Islam pada Sektor Perhotelan (6)
Funduq adalah cikal-bakal hotel modern. Akan tetapi, awal mulanya tidak asli dari Arab, melainkan kebudayaan dua adidaya pada abad keenam, yakni Byzantium dan Persia.
Raja-raja Muslim sejak era Umayyah mengadopsi beberapa sistem tata kota mereka, termasuk eksistensi tempat penginapan yang lantas diistilahkan dalam bahasa Arab: funduq. Kata itu merupakan pengembangan lebih lanjut dari bahasa Latin pandocheion atau bahasa Ibrani pundaq yang berarti ‘asrama’.
Berbeda dengan, umpamanya, Suffah Masjid Nabawi, kamar-kamar funduq disewakan kepada para pelanggan. Seorang pemilik funduq akan menugaskan bawahannya untuk mengelola bangunan itu sehari-hari. Dia bertugas merawat kebersihan kamar serta menjamin kenyamanan dan keamanan penghuni.
Menurut perspektif penguasa, funduq merupakan solusi untuk menunjukkan keramahtamahan (hospitality) terhadap orang-orang asing. Bagaimanapun, hukum tetap ditegakkan bagi mereka yang nekad melakukan spionase.
Bila ada penghuni yang dicurigai sebagai mata-mata, aparat keamanan langsung meringkusnya beserta barang bukti dari funduq tempatnya menginap. Maka dari itu, setiap orang asing diimbau untuk membawa surat yang memuat cap resmi penguasa daerah asal, sehingga jelas tujuannya singgah—apakah hendak berdagang, belajar, atau lain-lain.
Sejak abad kedelapan, dinasti-dinasti Muslim telah memberlakukan aturan demikian, yang kini tampaknya menyerupai mekanisme paspor.