REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ustaz Abdul Somad (UAS) menanggapi hasil seminar yang dihelat di Monash University, Melbourne, Australia, Jumat (15/2) pekan lalu. Seminar itu bertema "Are Muslim preachers pushing Indonesian politics to the right?" Turut hadir di sana, pakar studi Islam Prof Julian Millie dan dosen hukum Islam Dr Nadirsyah Hosen.
Seperti diberitakan sebelumnya, seminar itu menghasilkan benang merah, yakni fenomena kemunculan para dai populer, seperti UAS, menandai pergeseran media dakwah di Indonesia dengan memanfaatkan media sosial. Adanya pasar untuk pesan-pesan konservatif dinilai kian menambah popularitas mereka.
Menurut UAS, sebelum mengambil suatu simpulan, perlu dirumuskan terlebih dahulu apa itu konservatif. Sebab, tidak semua pihak menyepakati definisi yang sama.
Boleh jadi, umpamanya, suatu kelompok menganggap seorang dai sebagai konservatif. Sementara, kelompok lain tidak memandangnya demikian, padahal keduanya sama-sama Muslim.
massa memadati lapangan stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) untuk mengikuti Tablig Akbar Ustaz Abdul Somad yang akan dimulai sehabis salat Isya, Sabtu (26/1). Kegiatan tablig akbar sendiri sudah berlangsung sejak siang dengan diisi kegiatan oleh artis-artis nasional serta Wali Kota Bandung, Oded M Danial.
Contoh lain, soal dakwah tentang akidah. Islam berpusat pada tauhid. Hal itu membedakannya dari agama lain. Bisa dikatakan, seluruh dai memahami dan sering mengajarkannya dalam ceramah-ceramah.
Dalam sejumlah ayat, Alquran kerap menyebut mereka yang tidak bertauhid sebagai kafir. Bila penyebutan kafir dianggap sebagai ciri-ciri konservatif, maka Alquran bisa-bisa dicap konservatif juga.
"Jika menjelaskan akidah islam dianggap konservatif, maka Alquran itu kitab paling konservatif. Karena, dalam al-Maidah ayat 72 dikatakan bahwa, 'Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam.' Kemudian, dalam ayat ke-73 (surah al-Maidah) disebutkan, 'Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa,'" papar UAS saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (19/2).
"Kafirlah orang yang mengatakan trinitas. Maka ayat itu tadi konservatif. Nabi Muhammad SAW, nabi konservatif. Ulama-ulama pewaris nabi, (dicap) konservatif," sambung mubaligh kelahiran Silo Lama, Asahan, Sumatra Utara, itu.
Selanjutnya, peraih anugerah Tokoh Perubahan Republika 2017 itu menyoroti kata-kata Prof Julian Millie. Dalam seminar itu, Julian berpendapat, banyak orang mengunggah (posting) ulang ceramah-ceramah UAS di berbagai platform media sosial (medsos).
Akademisi itu juga memaparkan, bagaimana tim di balik popularitas UAS bekerja secara sistematis, menayangkan ceramah-ceramahnya ke medsos setiap hari.
"Konten dalam industri ini juga sangat mudah, sebab dai tersebut hanya bicara dan bicara," tutur Prof Julian Millie saat seminar itu.
Adapun bagi UAS, tidak benar bahwa peran ulama hanya "bicara dan bicara."
Baca juga: Fenomena Ustaz Abdul Somad Dibahas di Universitas Australia
"Prof Julian yang mengatakan, Abdul Somad atau dai itu tinggal bicara-bicara, direkam. Tolong luangkan waktu empat hari, saya mau ajak dia naik sampan tujuh jam ke dalam hutan rimba Riau. Siapa yang sebetulnya ngomong-ngomong saja?" tanya alumnus S-1 Universitas al-Azhar (Mesir) itu dengan nada retoris.
Berikutnya, UAS juga meminta para akademisi merenungi sesuatu yang tersirat di balik hal-hal yang tersurat. Popularitas tidak melulu digerakkan oleh kerja orang-orang di sekitar. Menurut dosen UIN Sultan Syarif Kasim Riau itu, selalu ada kehendak Allah atas segala kejadian di muka bumi ini, termasuk merebaknya tren dakwah via medsos di Tanah Air.
"Mereka yang mengatakan, 'ini kerja tim sistematis.' Coba mereka buat tim tercanggih, terhebat. Munculkan satu ustaz saja. Maka dari itu, cobalah merenung sejenak. Hatimu akan berkata, 'Ini kerja Tuhan,'" jelas alumnus S-2 Darul Hadits (Maroko) itu.