REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari Jeddah, Syekh Yusuf alias Muhammad Yusuf pulang ke Tanah Air. Para sejarawan sedikit berbeda pendapat mengenai daerah tujuan mubaligh tersebut selanjutnya.
Ada yang mengatakan, dia langsung ke Banten. Pendapat yang lain menyatakan, dia sempat ke Makassar, untuk kemudian hijrah ke Banten.
Yang jelas, Abdul Fatah alias Sultan Ageng Tirtayasa sudah naik takhta saat itu. Antara sang raja Banten keenam tersebut dan Syekh Yusuf sudah terjalin hubungan murid-guru sejak lama. Tidak mengherankan bila pihak istana setempat mempersembahkan jabatan keagamaan kepada Syekh Yusuf, sang ahli tasawuf.
Masjid Agung Banten, Serang, Banten, yang dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570). Dia merupakan sultan pertama dari Kesultanan Banten dan putra pertama dari Sunan Gunung Jati.
Dimusuhi Belanda
Banten sejak pertama kali dibentuk oleh Sunan Gunung Jati, selalu tampil konfrontatif terhadap Belanda. Penguasa asal Benua Eropa itu meneguhkan pengaruhnya di Jawa--dan Nusantara umumnya--dengan berpusat di Batavia (kini Jakarta). Di sanalah Kompeni mengendalikan monopoli komoditas ekspor Nusantara, khususnya rempah-rempah.
Tidak jarang mereka memakai kekuatan militer, sehingga Banten sebagai negeri tetanggnya harus membalasnya setimpal dengan mengerahkan pasukan-pasukan tempur. Kendati begitu, pertempuran antara keduanya juga diselingi rupa-rupa gencatan senjata.
Pangeran Dipati alias Sultan Ageng Tirtayasa termasuk golongan pemimpin Banten yang membenci kesewenang-wenangan Belanda. Putra Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad itu tidak kenal takut dalam melindungi negeri dan rakyatnya, utamanya kaum Muslimin.
Pelbagai infrastruktur pertanian, irigasi, dan pelabuhan dibangunnya untuk memajukan perekonomian Banten. Perhatian yang tinggi juga diberikannya kepada perkembangan dakwah Islam, antara lain, melalui dukungan terhadap para dai dan mubaligh.
Syekh Yusuf al-Makassari diangkat menjadi mufti Kesultanan Banten. Pengangkatan itu berkaitan pula dengan peran muridnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Keduanya sama-sama bertekad mengusir Belanda dari Bumi Nusantara.
Merespons kolaborasi ulama-umara itu, Kompeni bermain licik dengan menerapkan politik pecah-belah, devide et impera. Antarbangsawan di istana pun saling mencurigai. Puncaknya terjadi ketika Abdul Qahar alias Sultan Haji melawan ayah kandungnya sendiri, Sultan Ageng, untuk merebut kekuasaan.