Jumat 15 Feb 2019 20:32 WIB

Riwayat tentang Syekh Abdul Karim, Ayahanda HAMKA (2)

Dialah yang memperkenalkan Muhammadiyah ke ranah Minang

Sampul buku 'Ayahku' karangan Buya Hamka
Foto: tangkapan layar goodreads
Sampul buku 'Ayahku' karangan Buya Hamka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Murni Djamal menulis artikel berjudul "The Origin of the Islamic Reform Movement in Minangkabau: Life and Thought of Abdul Karim Amrullah."

Di sana, dipaparkan bahwa Syekh Abdul Karim Amrullah pernah belajar tartil Alquran dengan Haji Muhammad Salih. Adapun ilmu tata bahasa Arab diperolehnya dari Haji Hud at-Tarusan dan Sutan Muhammad Yusuf. Kemudian, fiqih dan tafsir Alquran didapatnya dari ayahandanya sendiri, Syekh Muhammad Amrullah (kakek Buya Hamka).

Baca Juga

Ayahanda Buya Hamka ini merupakan yang pertama memperkenalkan organisasi Muhammadiyah ke Sumatra Barat. Syekh Abdul Karim gemar berpergian ke luar Minangkabau, termasuk Malaya dan Jawa.

Dalam perjalanan ke Malaya, tutur Murni Djamal, Syekh Abdul Karim mendapat sambutan yang dingin dari masyarakat setempat. Penyebabnya, otoritas Islam di sana menganggap gaya mengajarnya kurang ortodoks.

Sebaliknya, di Jawa dia mendapatkan sambutan yang lebih bersahabat. Syekh Abdul Karim berjumpa dengan para pemuka Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah.

Kesan persahabatan itu wajar muncul karena masing-masing pihak tahu keselarasannya. Sebagai contoh, antara Syekh Abdul Karim dan sang pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan terdapat kesamaan. Keduanya pernah berguru kepada Seykh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Masjidil Haram.

photo
Logo Muhammadiyah.

 

Membawa Muhammadiyah ke Minang

Sejak 1925, Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dengan pesat di Minangkabau berkat rintisan Syekh Abdul Karim Amrullah. Buya Hamka dalam bukunya, Ayahku, menjelaskan hal itu.

Sebenarnya, Syekh Abdul Karim Amrullah pernah bertemu dengan HOS Tjokroaminoto pada 1917 di Jawa. Pemimpin SI yang berjulukan "Raja Jawa tanpa Mahkota" itu kemudian menawarkannya memimpin Sarekat Islam cabang Sumatra.

Namun, ayah Buya Hamka itu menolak tawaran tersebut. Sebab, kata Buya Hamka, dia tidak suka politik, sedangkan kala itu SI sedang aktif di ranah politik pergerakan. Syekh Abdul Karim lebih nyaman di dunia dakwah dan pendidikan saja, tetapi hal itu tidak berarti dirinya apatis terhadap politik. Toh cukup banyak murid-muridnya di Minangkabau yang terjun ke dunia politik. 

Dalam rangka menyemarakkan Muhammadiyah di Sumatra Barat, Syekh Abdul Karim Amrullah membawa kebaruan di sana. Mengikuti Kiai Ahmad Dahlan, dia merancang dan mempraktikkan metode-metode pengajaran Islam yang lebih modern.

Keberadaan surau sebagai tempat ibadah sekaligus pusat kegiatan Islami direformasinya. Hasilnya antara lain Sumatra Thawalib. Itu merupakan wujud sistem sekolah yang banyak kemudian memunculkan kader-kader yang cerdas, kritis, dan berkiprah besar bagi pergerakan anti-kolonialisme.

Sebut saja, Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang kerap menyuarakan kecaman keras terhadap praktik-praktik penjajahan Belanda atas Pribumi. Syekh Abdul Karim Amrullah juga menyuarakan sikap anti-komunisme khususnya di Sumatra Barat.

Menurut Buya Hamka, sikap itu kian menguat sejak Syekh Abdul Karim Amrullah tamat membaca buku Arradu 'alad Dahriyin karya Jamaluddin al-Afghani.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement