REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kapasitasnya sebagai aktivis Nation of Islam (NOI), Malcolm X mulai kerap mendapatkan tudingan antara lain dari pemerintah Amerika Serikat (AS) saat itu. Misalnya, tuduhan bahwa dia termasuk simpatisan komunis hingga suatu ancaman bagi keamanan negeri.
Pada akhirnya, keseharian Malcolm X di ranah publik tidak lepas dari mata-mata penguasa. Sebut saja suatu kejadian sekitar tengah malam tanggal 27 April 1962. Saat itu, kerusuhan pecah antara massa Muslim dan aparat kepolisian di dekat suatu masjid di Los Angeles.
Bahkan, masjid itu sempat diserbu sejumlah petugas yang memburu para pemuda. Tujuh orang Muslim tertembak. Beberapa hari setelah itu, sejumlah aktivis sipil ditahan, padahal aparat yang ada di lokasi tidak satu pun dijatuhi sanksi.
Malcolm X mengutuk keras peristiwa berdarah itu. Dia menyebutnya sebagai kekerasan negara atas orang-orang yang tak bersenjata di dalam rumah ibadah.
Hal mengejutkan justru datang dari orang-orang di sekitarnya. Banyak pimpinan NOI yang cenderung datar dalam menanggapi peristiwa tersebut.
Setelah itu dan beberapa peristiwa lainnya, mulai muncul perbedaan pandangan antara Malcolm X dan Elijah Muhammad, tokoh penting di NOI. Puncaknya, pada 1964 Malcolm mendirikan organisasi sendiri, yakni Organisasi Persatuan Afro-Amerika (OAAU).
Melalui OAAU, dia gencar berkampanye tentang Pan-Afrikanisme, yakni gagasan yang mengimbau kaum kulit hitam di seluruh dunia agar bersama-sama memerangi rasisme. Mereka juga menilai, tidak perlu ada superioritas, baik itu oleh kulit putih maupun kulit hitam.
Sejak saat itu, nama Malcolm X kian berkibar sebagai seoran tokoh sipil yang disegani, baik di dalam maupun luar negeri AS.
Ibadah haji di Makkah (ilustrasi)
Pencerahan dari Haji
Di tahun yang sama, Malcolm X berkesempatan menunaikan ibadah haji. Kunjungan ke Tanah Suci dilanjutkannya dengan menemui sejumlah tokoh sipil di negara-negara Asia Barat dan Afrika Utara.
Di Kairo, Mesir, dia mengikuti forum Organisasi Persatuan Afrika (OAU), sebagai delegasi dari OAAU. Pangeran Faisal dari Arab Saudi bahkan mengundangnya selaku tamu negara.
Demikian pula dengan para pemimpin lainnya, seperti Kwame Nkrumah dari Ghana, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan pemimpin revolusioner Aljazair Ahmed Ben Bella. Malcolm X juga didaulat sebagai pembicara pada kampus tertua di Nigeria, Universitas Ibadan.
Bagaimanapun, bukan macam-macam penghormatan itu yang paling mengesankan baginya. Keagungan ibadah haji itulah yang mempesona hati Malcolm X.
Kata dia sendiri dalam autobiografinya: “Mereka bertanya apa kesan yang paling mendalam bagi saya dari ibadah haji … Saya katakan, kebersamaan! Orang-orang dari segala ras, warna kulit, asal negara di dunia semua datang bersama-sama sebagai satu (umat)!”
Menurutnya, dalam ibadah haji, semua orang setara. Tidak ada superioritas ras. Tidak ada kesombongan. Semua sama di hadapan Sang Pencipta, dan sama-sama mengharapkan ampunan dari-Nya. Keadaan sama rata, sama rasa sungguh-sungguh terjadi ketika di Tanah Suci.