REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Syukur
Salah seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Hanzhalah al-Usaidi bercerita, "Saya pernah bertemu Abu Bakar, lalu ia bertanya, 'Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?' Aku menjawab, 'Hanzhalah telah menjadi munafik!' Abu Bakar tersentak kaget seraya berkata, 'Subhanallah! Apa yang engkau katakan?'"
"Aku sering bersama Rasulullah SAW, beliau mengingatkan tentang surga dan neraka seolah-olah aku melihatnya dengan mata kepala. Namun, ketika aku keluar dari sisi beliau dan bercengkerama dengan istri, anak, dan sibuk dengan pekerjaan, aku pun sering melupakannya," jawabku.
Abu Bakar mengiyakan perasaan seperti itu, "Demi Allah! Kami juga merasakan hal seperti itu!" Kemudian, aku dan Abu Bakar berangkat bersama-sama untuk menemui Rasulullah SAW. Aku memulai pembicaraan, "Hanzhalah telah menjadi munafik wahai Rasulullah!"
Rasulullah balik bertanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah! Ketika kami bersamamu, engkau mengingatkan tentang surga dan neraka seolah-olah kami melihatnya dengan mata kepala kami. Namun, ketika kami keluar dari sisimu dan bercengkerama dengan istri, anak, dan sibuk dengan pekerjaan, kami sering melupakannya."
Rasulullah SAW menjawab, "Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian selalu dalam keadaan sebagaimana ketika kalian ada di sisiku dan selalu berzikir, niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat-tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Tetapi, wahai Hanzhalah, suatu waktu seseorang bisa merasakan hal itu, dan di waktu yang lain ia merasakan hal yang lain." (HR Muslim).
Apa yang dirasakan oleh Hanzhalah al-Usaidi dan sahabat Abu Bakar juga sering kita rasakan pada masa sekarang. Ketika kita mendengar ceramah di masjid-masjid atau melalui media elektronik kita merasa dekat dengan Allah, merasakan nikmatnya menjadi penghuni surga, dan merasa betapa mengerikannya kobaran api neraka. Dalam suasana hati seperti itu, tidak jarang di antara kita ada yang berjanji untuk mengikuti semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya, dengan tujuan agar kita benar-benar menjadi penghuni surga, dan benar-benar dijauhkan dari api neraka.
Tapi, perasaan seperti itu tiba-tiba menguap sedikit demi sedikit ketika kita keluar dari masjid atau berkumpul bersama keluarga dan mulai asyik dengan aktivitas sehari-hari kita. Perubahan suasana hati seperti ini yang dikhawatirkan oleh Hanzhalah dan Abu Bakar sebagai suatu kemunafikan karena ketidakistiqamahan hati untuk selalu mengingat janji dan ancaman Allah SWT dalam segala kondisi.
Namun, jawaban Rasulullah menegaskan bahwa perasaan seperti itu bukan merupakan kemunafikan, tapi sebuah perasaan yang lumrah dirasakan setiap orang, pada satu waktu ingat pada janji dan ancamannya Allah, dan di waktu yang lain lupa akan janji dan ancaman tersebut.
Dan, orang yang mampu selalu mengingat janji dan ancaman Allah dalam setiap aktivitasnya maka ia akan menjadi manusia yang sangat istimewa karena akan mendapat jabat tangan malaikat (doa) di jalan-jalan dan di tempat tidurnya. n